Lihat ke Halaman Asli

Ketika Poligami Menjadi Pilihan...

Diperbarui: 11 Juli 2019   16:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pixabay

Bagi beberapa perempuan, poligami mungkin menjadi topik yang sangat sensitif. Tak jarang, ketika topik ini muncul, akan langsung ada yang responsif menolak. Dan ujung-ujungnya, biasanya akan berakhir dengan pernyataan, "Tidak ada perempuan yang mau dimadu..."

Buat saya, topik ini juga sangat sensitif. Ibu saya dahulu adalah seorang yang “alergi” dengan topik poligami. Ya, Ibu saya adalah produk dari seorang ayah yang berpoligami yang memberi trauma mendalam di hatinya hingga dewasa.

Begitu pula dengan Bapak saya, pilihan poligami dari ayahnya pernah membuahkan kisah yang juga kurang baik. 

Kisah-kisah yang sarat dengan kesakitan itulah yang kerap diceritakan Ibu saya semenjak saya kecil. Kisah yang selalu membuatnya menangis setiap bercerita adalah ketika Ibunya menangis mengisahkan kesedihan hatinya.

Hingga saya dewasa, persoalan poligami dari keluarga Ibu saya terus berkembang menjadi lebih kompleks. Hingga SMP, persoalan poligami kakek nenek saya sebetulnya tidak begitu mengganggu pikiran saya.

Tetapi mulai saya melanjutkan SMU di kota asal Bapak Ibu saya, saya baru menyadari bahwa poligami kakek saya ternyata mendapat perhatian bagi sejumlah orang di kota ini. 

Maklumlah, kota ini hanya kota kecil. Beberapa orang kawan dan juga orang dewasa yang saya temui kerap mempertanyakan tentang saya adalah cucu dari istri Mbah saya yang mana.

Bahkan, beberapa guru di sekolah, juga ada yang menanyakan bagaimana interaksi saya atau ibu saya dengan anak-anak dari istri muda Mbah saya. Tentu saja, hal-hal demikian cukup mengganggu. 

Namun saya memahami bahwa perhatian orang-orang tersebut lebih karena Mbah saya termasuk orang yang ditokohkan di kota tersebut saat itu serta beberapa noktah yang mungkin pernah tertorehkan dari rekam jejak mereka.

Ya, itu kisah waktu saya masih SMU. Saat ini, saya yakin sudah tak banyak yang mengenal siapa Mbah saya. Paling juga dari sesepuh kota atau mereka-mereka yang mungkin sudah di atas usia 50 tahun yang juga asli kota ini yang mungkin masih mengetahui atau setidaknya pernah mendengar tentang Mbah saya.

Kini... setelah 15 tahun berselang, saya menemukan fakta bahwa ternyata tidak semua perempuan menolak dipoligami. Sudah hampir 4 tahun ini, saya mengikuti kelompok kajian keIslaman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline