Lihat ke Halaman Asli

Smart Parenting: Menjadi Orangtua yang Baik dan Benar untuk Generasi Masa Depan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13036651242073129202

[caption id="attachment_104735" align="alignleft" width="268" caption="Diambil dari akun FB "][/caption] Akhir pekan kemarin, selama 2 hari berturut-turut saya mengikuti pelatihan Smart Parenting. Pelatihan ini adalah salah satu persyaratan wajib dan yang terakhir yang harus diikuti oleh semua calon orang tua wali murid kelas 1 di sekolahnya Nau Naj. Ya, Naj, anak saya yang ke-2, akan menyusul Nau sang kakak untuk bersekolah di SD Al-Ikhlash.

Sejak 3 bulan lalu, pihak sekolah sudah mewanti-wanti para orangtua calon wali murid untuk mengagendakan kegiatan ini sebagai prioritas. Bagi orangtua yang tidak hadir, maka pihak sekolah menyatakan sebagai pengunduran diri dan uang infak sekolah dianggap hangus tidak bisa ditarik kembali. Tentu saja cara ini sangat jitu untuk menghadirkan seluruh orangtua calon wali murid dalam pelatihan tersebut.

Sebelumnya, saya sudah familiar mendengar istilah Smart Parenting. Kolega keluarga kami di Jember adalah seorang psikolog anak dan keluarga. Awal Maret lalu, saya mengundang beliau untuk mengisi acara Dharma Wanita. Dari hasil interaksi sejak beberapa tahun lalu dengan beliau, ditambah juga dengan tarbiyah yang kerap menghadirkan topik-topik tentang bagaimana membangun anak dan keluarga yang Islami, saya cukup intens memperoleh wawasan tentang Smart Parenting.

Namun demikian, pelatihan kemarin tetap saja memberikan informasi dan warna baru dalam khasanah pengetahuan saya. Banyak hal yang menyentuh hati. Hal ini semakin menguatkan saya untuk terus melangkah dan tegar untuk menjadi inspirator dan teladan yang baik bagi ketiga putri saya.

Secara umum, pelatihan tersebut bercerita tentang 3 elemen penting yang harus dimiliki seorang generasi rabbani masa mendatang. Yaitu, berintelektual, berkarakter, dan berakhlakul karimah. Yuuuup, tentu saja saya sangat sepakat. Bukankah ini doa dan harapan yang selalu saya pintakan agar anak-anak saya kelak menguasai ilmu pengetahuan sekaligus juga memiliki keimanan dan ketakwaan!!!

Untuk membangun karakter, dikatakan dibutuhkan 4 jenis kekuatan. Yaitu, kekuatan takwa, kekuatan paradigma, kekuatan cinta, dan kekuatan teladan. Yuuuup, tentu saja saya sangat sepakat pula dengan peta kekuatan ini. Meski saya tak sempurna untuk menghadirkan keempat kekuatan tersebut, tapi setidaknya saya sudah merintisnya sejak mula. Ya, komunikasi dan kedekatan dengan anak-anak adalah kunci untuk bisa menghadirkan 4 kekuatan tersebut.

Saya tidak pernah mengetahui adanya studi yang menunjukkan bahwa takwa orang tua memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk kepribadian anak yang dzuriyah dan qowiyah. Meski saya tak mengetahuinya, saya amat mensyukuri bahwa sejak mereka dalam kandungan, saya sudah berkeyakinan kuat bahwa doa-doa dan lantunan Al-Qur’an yang saya kumandangkan di dekat mereka adalah tahap awal yang baik dan benar untuk menghadirkan iman dan takwa bagi mereka. Saya juga amat mensyukuri telah memasukkan mereka sejak umur 4 tahun pada Taman Pendidikan Al-Qur’an. Dan yang tak kalah saya syukuri adalah rutinitas dan kesenangan mereka untuk mengikuti kelas hafalan Al-Qur’an dan mengikuti majelis liqo’ anak setiap pekan untuk mengkaji Islam.

Saya tak pernah mengetahui sebelumnya tentang teori bahwa paradigma orang tua akan menjadi salah satu kekuatan dalam membangun karakter anak. Tapi sejak mula, saya sudah sangat meyakini bahwa orang tua yang memiliki karakter adalah orang tua yang kelak mampu membangun karakter anak-anaknya. Nau Naj dulu kerap bertanyamengapa saya bersekolah lagi. Kenapa saya harus sering-sering meninggalkan mereka. Saya katakan bahwa hati saya sesungguhnya berat meninggalkan. “Seringkali ketika rindu datang, Bunda ingin terbang agar bisa memeluk dan mencium anak-anak Bunda. Tapi Bunda pergi kan bukan untuk senang-senang. Bunda pergi untuk mencari ilmu. Orang Muslim wajib mencari ilmu. Bunda ingin pintar agar bisa mencetak anak-anak yang pintar pula. Ibu rumah tangga harus pintar karena dari merekalah generasi masa depan ini akan lahir. Nau sama Naj mungkin belum mengerti apa yang dimaksud Bunda. Tapi seiring usia, kalo Nau dan Naj sudah semakin besar, Insya Allah akan mengerti”.

1303665405738997664

Saya tak pernah mengetahui teori cinta dalam ilmu psikologi tentang pengasuhan anak. Meski saya tak mengetahuinya, tapi saya amat mensyukuri bahwa kata-kata cinta dan dekapan serta kecupan yang kerap saya berikan akan sangat berarti bagi mereka. Seringkali Nau dan Naj bertanya apakah saya mencintai mereka? Tegas saya katakan “Ya. Meski keadaan keluarga kecil kita tak seperti keluarga teman-temannya Kakak dan Mbak, tapi Kakak dan Mbak harus banyak bersyukur. Setidaknya kita masih punya jadwal rutin 1 hari dalam seminggu untuk berkumpul lengkap. Bahkan Nau Naj dan Nad masih bisa bertemu dengan Bunda setidaknya 2-3 hari dalam seminggu. Meski jarang bertemu, tapi percaya dech, Abi dan Bunda selalu punya cinta yang tidak kalah besar dengan orang tua teman-temannya Kakak dan Mbak yang setiap hari berkumpul lengkap.

Keluarga kecil saya memang tidak lumrah. Kami kerap berpencar-pencar. Dengan komunikasi pulalah, saya menjelaskan tentang keadaan ini. Mungkin pilihan bahasa yang sering saya sampaikan sedikit dewasa untuk dipahami oleh mereka. Kadang hal ini pulalah yang tanpa saya sadari, saya beberapa kali terkaget-kaget mendengar bahasa mereka yang “tingkat tinggi” ketika menyampaikan pendapat pada saya.

Pernah suatu ketika, saya sangat ingin sekali makan sebuah makanan cepat saji. Saat itu, anak-anak dan suami menawarkan pilihan lain. Tapi karena saya sangat menginginkannya, dengan sedikit memaksa dan persuasif, akhirnya pilihan saya diterima mereka. Ketika hendak menyuap lahapan pertama, Nau anak saya yang pertama yang saat itu mungkin masih kelas 3 SD mengatakan, “Bunda kalau makan di sini, apa gak ingat dengan anak-anak Palestina yang mati dibunuh?” Astaghfirullah, makanan yang sudah masuk tenggorokan rasanya nyangkut mendengar kata-kata Nau…

1303665433833944176

Begitu juga dengan Naj. Saat itu usianya masih 5 tahun. Kami liburan akhir pekan di Jember. Baru sehari di sana, Naj merengek-rengek minta pulang ke Lumajang karena kasihan Ibu (Ibu saya yang dipanggilnya juga Ibu) yang sendirian di rumah. Abinya bertanya, “Baru sebentar di Jember kok sudah minta pulang sih? Bukannya Ibu kalo di rumah suka marah-marah ke Naj? Naj juga sering di ancam-ancam kan?”. Naj menjawab, “Bi, Ibu itu baik. Aku yang sering nakal. Ibu enggak mungkin marah-marah kok kalo aku enggak nakal. Aku ini kepikiran Ibu. Ibu sendirian di rumah. Kalo Bapak ke Mesjid dan Om Tiar bekerja, Ibu kan pasti sendirian” Saya kemudian menyahut, “Naj ini anaknya siapa sih? Kok sedikit-sedikit Ibu. Naj gak senang ya sama Bunda?”. Naj menjawab, “Mbak senang sama Bunda. Mbak mau sama Bunda, tapi juga mau sama Ibu. Mbak ini kepikiran karena Ibu pasti sendirian di rumah. Nda, Bunda ya memang ibunya Mbak. Mbak tahu kok kalo Bunda ini Ibunya Mbak. Tapi Ibu itu ya Ibunya Mbak juga. Kan kalo enggak ada Bunda, Ibu yang sering mandikan Mbak… makein baju sama ngikatkan rambutnya Mbak…”. Ya Allah, anak kecil begini bisa berkata seperti demikian….

Mmm, saya jadi ingat dengan tes IQ Naj. Ya meski tes IQ-nya menunjukkan bahwa Naj termasuk kategori superior, tetapi lembaran tersebut menyatakan bahwa Naj memiliki kesulitan dalam hal berkomunikasi. Tentu saja, saya dan suami tidak sepakat dengan hasil tersebut. Sebab, sepengetahuan kami, Naj sangat supel dan tidak pernah ada maslaah dalam hal berkomunikasi maupun berinteraksi dengan lingkungan. Nah, suatu hari, ketika suami berkesempatan berkonsultasi dengan kantor psikologi tersebut, dijelaskan mereka bahwa Naj memiliki gaya bahasa yang relatif lebih dewasa daripada teman-teman sebayanya. Teman-teman sebayanya tidak selalu memahami dengan apa yang dimaksud Naj. Ya, meski kami masih menyangsikannya, tapi sementara ini informasi tersebut menjadi perhatian kami.

Hmmmfffhhhh…

130366569214768477

Hal lain yang menyentuh hati saya dari pelatihan Smart Parenting adalah ketika trainer meminta para orang tua calon wali murid untuk menuliskan 5 kelebihan dan 5 kelemahan dari diri kami masing-masing terhadap anak-anak kami. Ya, setelah berpikir lama, akhirnya saya hanya mampu menuliskan 3 kelebihan, yaitu: Ibu yang mempunyai visi, pembelajar, dan tegas. Sebaliknya, ketika diminta menuliskan 5 kelemahan, rasanya saya tak perlu berpikir lama. Saya sangat sadar saya memiliki kelemahan: pemarah, galak, kurang sabar, suka ngomel, dan jarang punya waktu untuk anak.

Hal terakhir yang juga menggugah hati dan membuat saya menangis adalah pesan trainer tentang memaafkan masa lalu. Ya, banyak anak memiliki masa lalu yang membuat mereka memiliki sakit, tangis, bahkan juga mungkin dendam. Bak gelas berisi air kotor, untuk membersihkannya adalah dengan menuangkan air putih sebanyak-banyaknya agar air kotor tersebut berganti air putih. Kerap kali orang tua melalui kata atau tindakan, menyakiti anak-anaknya hingga masuk dalam pikiran bawah sadar dan membekas hingga dewasa. Satu-satunya jalan untuk bisa menghilangkannya adalah dengan memaafkan, mengikhlaskan, dan mendoakan…

1303665772363887010

Seusai pelatihan, saya menghampiri seorang ustadzah yang dalam kepanitiaan pelatihan tersebut termasuk yang tampak paling sibuk (baru malam ini saya tahu bahwa beliau ternyata adalah Wakil Kepala Sekolah). Saya katakan, acara ini harus ditindaklanjuti. Pelaksanaan pelatihan bagi orang tua calon wali murid kelas 1 ini sudah tepat. Setidaknya, mereka yang putra-putrinya akan memasuki tahap awal pendidikan dasar akan memiliki paradigma baru dalam membangun pribadi anak. Sebagai ketua Forum Orang Tua Wali dan lembaga Pendidikan Al-Ikhlash (FORMULA) Kelas 4, saya mengetahui pasti adanya orang tua yang saklek menganggap persoalan pendidikan adalah absolut kewajiban pihak sekolah. Saya pernah menyaksikan sendiri bagaimana seorang orangtua menuding-nuding dengan kata-kata yang menyakitkan hati dan berapi-api kepada para ustadz-ustadzah dalam forum pertemuan karena menyoal persoalan yang dihadapi anaknya dalam lingkungan sekolah.

Ustadzah Tari, namanya, setuju. Dari semua masukan yang terlontar dari peserta memang menunjukkan permintaan yang sama. Bahkan, hampir semuanya meminta agar pelatihan tersebut mewajibkan pasangan suami-istri untuk dihadirkan sekaligus. Secara keseluruhan saya amat sangat bersyukur dapat mengikuti pelatihan tersebut.  Dalam sholat Ashar usai acara tersebut, saya berdoa memohon ampun untuk semua khilaf dan lalai saya dalam mengasuh anak-anak. Saya meminta untuk diberi hati yang lembut dan kesabaran seluas samudera untuk bisa mendampingi mereka, membesarkan mereka, dan menjadikan mereka generasi rabbani.

Ya Rabb, izinkan hamba untuk memiliki semua kekuatan takwa, kekuatan paradigma, kekuatan cinta, dan kekuatan teladan untuk menemani dan menguatkan mereka meraih dunia dalam genggaman dan akherat dalam hati mereka. Ya Rabb, jadikanlah mereka generasi rabbani, generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tapi juga memiliki keimanan dan ketakwaan. Jadikan mereka anak-anak yang mencintaiMu dan RasulMu. Izinkan mereka menjadi jalan pembuka surga bagi orangtua-orangtua dan anak turunan mereka. Jadikan aku Ibu yang baik dan solihah bagi mereka. Jadikan aku ibu yang pemaaf. Jadikan aku Ibu yang dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi mereka. Aamiin...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline