Lihat ke Halaman Asli

Kisah Anak Autis: Mogok Sekolah & Belajar Membaca (2)

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_279878" align="alignleft" width="250" caption="Gambar diambil dari situs kaskus.us"][/caption]

Masih tentang Bintang dan Perwira...

Beberapa hari lalu, ayah Bintang menghubungi saya. Beliau sedang bermain golf bersama dengan beberapa rekannya yang pensiunan dari lembaga otoritas keuangan tempat mereka bekerja. Ayah Bintang bercerita tentang keadaannya yang "mengambang". Diminta mengundurkan diri ya tidak, diminta bekerja lagi ya tidak. Ketika saya bertanya mengapa sampai demikian, ayah Bintang mengatakan bahwa lembaganya itu tidak berani memintanya mengundurkan diri karena "kebersalahan" ayah Bintang adalah karena menunaikan tugas dan kewajiban yang diperintahkan rapat dewan tertinggi di lembaga otoritas tersebut. Jadi, penonaktifan ayah Bintang dengan cara diminta mengundurkan diri itu belum kunjung datang...

Sudahlah, saya tidak ingin bercerita detil tentang ayah Bintang. Saya yakin beliau sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan terburuk. Lagipula, beliau sekarang sudah punya profesi baru sebagai dosen luar biasa... Setiap Senin, beliau mengajar di sebuah kampus. Pengalaman dan keahliannya tentu sangat dibutuhkan oleh perguruan tinggi...

Ayah Bintang tak lama mengobrol dengan saya. Setiap kali beliau akan main golf, beliau mengakhiri percakapan. Ketika beliau istirahat sejenak, beliau menghubungi saya. Entah berapa kali itu berlangsung. Saya tahu, beliau ingin bercerita banyak tentang Bintang...

Ya, Bintang beberapa minggu ini melakukan aksi mogok sekolah. Di rumah, Bintang selalu mengamuk. Ibunya sering menjadi sasaran. Bahkan, Bintang tak segan untuk memperlihatkan keinginannya untuk memukul Ibunya. Bintang kerap memaki Ibunya dengan "Fuck U", "I Kill U", dan caci maki lainnya sembari membanting dan menunjuk-nunjuk. Ayahnya khawatir karena Bintang kini semakin besar, badannya tegap, tinggi, telah mulai unggul secara fisik untuk melawan Ayah dan Ibunya...

Saya tidak tahu sudah berapa hari Bintang tak mau sekolah. Ayahnya memperkirakan penyebab Bintang mogok sekolah karena pelajarannya yang semakin sulit diterima. Entahlah, saya sebetulnya tidak begitu yakin juga. Ayah Bintang berencana jika Bintang terus menerus berlaku demikian, Bintang akan dibawa ke Klaten beberapa pekan untuk mengikuti terapi akupuntur. Ada kemungkinan juga Bintang akan mengikuti homeschooling... Mmm... entahlah... Saya selalu merasa ada yang kurang pas dari Ayah Bintang memperlakukan Bintang... Menyediakan banyak fasilitas kemewahan dan kemudahan, bagi saya bukanlah hal yang selayaknya bagi anak2 yang seharusnya ditempa untuk memiliki motivasi, semangat juang, dan harapan... Apalagi anak autis seperti Bintang...

Tentang Perwira... Mmm, rasanya lebih enak buat saya memanggilnya cukup dengan Wira saja...

Ya, beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumah Wira. Kebetulan, di rumahnya hanya ada Wira dan 2 adiknya serta Ayahnya. Wira dan Ami --adiknya-- baru saja pulang sekolah. Sedangkan si kecil, Melati, belum bersekolah. Saya mengunjungi mereka karena ingin menjenguk. Kebetulan juga, saya ada rencana mengunjungi seorang teman yang menjadi tetangga dekat mereka. Pas lah...

Ketika saya menulis di laptop, Wira menghampiri. Tiba-tiba saja, Wira dengan suara lantang menyeru, "A B C D E F G... H I J K L M N.. O V Q R S T U...".

Saya melongok kaget.

Wira yang tak bisa melanjutkan hafalannya, kemudian mengulang kembali. "A B C D E F G... H I J K L M N... O V Q R...".

"P... Bukan V", sahut Ayahnya sambil tersenyum.

"O P Q R S T U... V W X Y Z", lanjut Wira dengan lengkap.

Saya mencoba tersenyum manis meski hati bertanya-tanya. Saya bingung mendapati Wira demikian.

Wira kemudian berjalan gontai meninggalkan saya dengan tetap menyerukan hafalannya tak berhenti-berhenti.

Saya bilang, “Tolong dong Wira dibilangi supaya gak usah kayak gitu terus. Kasihan...”

Ayahnya menjawab, “Enggak apa-apa. Nanti berhenti sendiri kok kalau sudah capek”.

Ya, tak lama kemudian saya sudah tidak mendengar Wira menyerukan hafalannya.

Ayahnya kemudian bercerita bahwa Wira baru saja merusak mainan PS-nya. Ayah Wira mengatakan kepada Wira bahwa Wira tidak akan dibelikan mainan lagi sampai Wira bisa membaca. Ya, mungkin karena terobsesi untuk menunjukkan pada Ayahnya bahwa ia bisa membaca, maka Wira berlaku seperti tadi.

Yang saya tahu, Wira terkena Gangguan Asperger atau yang lebih dikenal dengan Asperger Syndrome (AS). Saya membaca di situs favorit saya tentang anak autis, PuteraKembara.org, AS adalah gejala kelainan perkembangan syaraf otak. Perilaku dari kebanyakan anak lelaki yang terkenanya memiliki tingkat intelegensia dan perkembangan bahasa yang normal. Namun, mereka memiliki perilaku mirip autis. Mereka mengalami kekurangan dalam hubungan sosial dan kecakapan komunikasi. Seorang penyandang AS dapat memperlihatkan bermacam-macam karakter. Mereka kerap mengalami kesulitan jika terjadi perubahan dan selalu melakukan hal-hal yang sama berulang ulang. Mereka sering terobsesi oleh rutinitas dan menyibukkan diri pada aktivitas yang menarik perhatian mereka. Mereka selalu mengalami kesulitan dalam mengenali bahasa tubuh dan seringkali kesulitan dalam menentukan posisi badan dalam ruang.

Selain itu, mereka memiliki perasaan sensitif yang berlebihan terhadap suara, rasa, penciuman dan penglihatan. Mereka lebih menyukai pakaian yang lembut, makanan tertentu, dan merasa terganggu oleh suatu keributan atau penerangan lampu yang mana orang normal tidak dapat mendengar atau melihatnya.

Ya, rasanya Wira memang demikian kalo saya ingat-ingat cerita ayahnya. Wira jika tidak menyukai sesuatu, misal lagu tertentu, ia akan menutup telinganya kuat-kuat sambil berkata, “Jangan Ayah... Jangan Ayah...”.

Rasanya, seperti yang saya baca, Wira memang melihat dunia dengan cara yang berlainan. Wira memiliki perilaku yang aneh dan luar biasa yang disebabkan oleh perbedaan neurobiologi. Ia tidak akan dengan sengaja berlaku kasar atau berlaku tidak sopan. Mmmmm... Saya jadi ingat cerita ayahnya tentang Wira yang menarik jenggot seseorang yang bertamu ke rumahnya. Juga ketika ayahnya sedang berolahraga angkat beban, Wira tiba-tiba memanggil ayahnya dengan “He... Kodok... Sini Kodok... Aku mau tidur sama kamu, Kodok”. Hehehehe... *Ini ketawa miris, lho ya!*

Ok, kembali serius...

Mmm, dari yang saya baca, penyandang AS itu sebetulnya memiliki IQ normal. Tapi karena mereka memiliki fungsionalitas tingkat tinggi serta bersifat naif, maka mereka dianggap eksentrik, aneh dan mudah dijadikan bahan untuk ejekan dan sering dipaksa temanya untuk berbuat sesuatu yang tidak pantas. Mereka memiliki kelemahan kualitatif dalam berinteraksi sosial. Mereka dapat bergaul dengan orang lain, namun tidak memiliki keahlian berkomunikasi. Mereka akan mendekati orang lain dengan cara yang ganjil. Mereka sering tidak mengerti akan kebiasaan sosial yang ada dan secara sosial akan tampak aneh, sulit berempati, dan salah menginterpretasikan gerakan-gerakan. Kesulitan dalam berkomunikasi sosial dapat terlihat dari cara berdiri yang terlalu dekat dengan orang lain, memandang lama, postur tubuh yang tidak normal, dan tak dapat memahami gerakan-gerakan dan ekspresi wajah. Ya, sepertinya Wira memang sulit bersosialisasi. Ia membutuhkan instruksi yang jelas untuk dapat bersosialisasi.

Selain itu, penyandang AS meski dapat berbicara lancar, mereka sering mempunyai masalah dalam menggunakan bahasa dalam konteks sosial dan tidak mampu mengenali sebuah kata yang memiliki arti yang berbeda-beda serta khas dalam berbicara. Penyandang AS bisa jadi memiliki perbendaharaan kata-kata yang lebih dan sering tak henti-hentinya berbicara mengenai sesuatu yang ia sukai.

Mmm... Ternyata penyandang AS memiliki kemampuan intelegensi normal sampai di atas rata-rata kok.Kebanyakan dari mereka cakap mendalami ilmu pengetahuan dan sangat menguasai subyek yang mereka sukai. Sayang, mereka lemah dalam hal pengertian dan pemikiran abstrak. Akibatnya, mereka mengalami kesulitan akademis. Terutama dalam kemampuan membaca dan mengerti apa yang dibaca, menyelesaikan masalah, kecakapan berorganisasi, pengembangan konsep, membuat kesimpulan dan menilai. Ditambah pula, mereka sering kesulitan untuk bersikap lebih fleksibel. Pemikiran mereka cenderung lebih kaku. Mereka juga sering kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan atau menerima kegagalan yang dialaminya. Mereka tidak siap belajar dari kesalahan-kesalahannya.

Mmm... Ya ya ya, saya melihat Wira dan Bintang sebetulnya memiliki banyak kesamaan. Mereka bisa menjadi hipersensitif dan hiperaktif terhadap beberapa rangsangan tertentu. Mereka sering kelihatan seperti tidak memperhatikan lawan bicara. Tampaknya, mereka juga memiliki rasa takut yang berlebihan.

Aaaaahhhh... Saya tidak tahu kenapa harus bercerita lagi tentang Bintang dan Wira ini. Rasanya, saya masih kesal dengan Ibunya Wira yang tak mau berhenti bekerja demi 3 buah hatinya. Apalagi dengan Wira yang berada dalam keadaan demikian. Saya tidak habis pikir. Bahkan ketika tiada pembantu rumah tangga (PRT) lantaran tak kembali usai lebaran, Ibunya masih tak bergeming. Akhirnya, Ayah Wira lah yang mengalah bekerja setengah hari untuk kemudian mengurus ketiga anaknya. Bahkan, ketika terdesak, Ayahnya mengajak Wira ke kantor. Untunglah ayahnya seorang advokat yang bekerja pada kantornya sendiri sehingga tak perlu begitu sungkan pada yang lain.

Ya sudahlah... Untuk Ayah Bintang dan Ayah Wira, semoga tetap tabah, sabar, dan terus yakin bahwa Bintang dan Wira bukanlah anak “cacat” dan pembawa masalah. Mereka layak mendapat masa depan. Masa depan mereka adalah buah dari ketegaran dan “ketegaan” para Ayah dan Ibunya kemarin, hari ini, dan esok. Masa depan mereka adalah buah dari cinta dan kasih sayang para  Ayah dan Ibunya kemarin, hari ini, dan esok. Masa depan mereka juga adalah buah dari semangat, daya juang, keilmuan, pengetahuan, pengorbanan, dan keikhlasan para Ayah dan Ibunya kemarin, hari ini, dan esok...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline