Di desa Nalon, khususnya di mushola Manzilatul Muna, setiap malam Rabu selepas sholat Maghrib, anak-anak dengan tekun melantunkan bacaan Al-Quran dan mengkaji kitab-kitab klasik. Salah satu kitab yang menarik perhatian mereka adalah "Sabilal Muhtadin," yang ditulis dalam aksara Arab Melayu atau Arab Jawi. Aksara ini adalah tulisan Arab yang disesuaikan dengan bahasa Melayu, sebuah tradisi yang telah mengakar kuat di daerah ini sejak lama.
"Sabilal Muhtadin" adalah karya monumental dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, seorang ulama besar asal Banjar. Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang dikirim oleh Raja Banjar untuk menuntut ilmu di Mekkah Al-Mukarramah, menulis karyanya dalam bahasa Melayu, bukan bahasa Banjar, karena ia menyadari luasnya penggunaan bahasa tersebut. Karya beliau sangat dihargai hingga masyarakat membangun sebuah masjid dengan nama yang sama, "Sabilal Muhtadin," sebagai bentuk penghormatan.
Haji Sulaiman Rasyid, seorang doktor dalam pengajian Islam dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), juga memuji Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Meskipun karya beliau ditulis dalam bahasa Melayu, yang kemudian menjadi cikal bakal bahasa Indonesia, ini menunjukkan betapa jauh ke depan visi beliau dalam pemilihan bahasa yang akan digunakan oleh banyak orang.
Tradisi mengaji dan penghormatan terhadap ulama serta bahasa yang telah tertanam dalam budaya desa Nalon mencerminkan betapa dalamnya nilai-nilai leluhur akan peran ulama sebagai pemimpin spiritual dan pentingnya bahasa sebagai inti dari budaya bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H