Lihat ke Halaman Asli

Peran NU dalam Kemerdekaan Indonesia

Diperbarui: 10 Maret 2020   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejarah berdirinya NKRI tidak bisa lepas dari peran para pejuang muslim, atau lebih tepatnya dikenal dengan kaum santri. Mereka yang cenderung dituduh oleh para kaum pembaru sebagai ahli takhayul, bid'ah dan khurafat, tapi sebenarnya mereka memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi terhadap sesama makhluk dan begitupun dengan agama yang mana mereka telah memplajari tentang ketuhanan. 

Hanya saja sejarah peran kaum bersarung, sengaja disingkirkan dari catatan lembar bersejarah, seperti pesantren dengan para kyainya, sebelum tertata rapi dan terorganisir dalam jam'iah Nahdhatul Ulama.

Sepintas sejarah telah menyampaikan sebuah kontribusi nyata dari salah satu organisasi agama yang menjadi pamungkas bumi pertiwi Nahdhatul Ulama (NU) telah menorehkan kisah dalam balutan perjuangan para pemuka negeri pada terakhir dekade. Sehingga sangatlah mungkin, jika dalam hal ini organisasi menjadi tolak ukur keberhasilan negeri. 

Indonesia dengan segala macam pernak-perniknya mampu mengatarkan para masyarakat untuk terus berkarya, menampakkan peranan terbaik terhadap segala penjuru negeri, namun dalam hal ini organisasilah yang sudah sepantasnya menjadi aset terbaik dalam memperjuangkan bentuk strata atau nahkan sturuktur sosial yang akan melindungi diri serta menjadi perekat terbaik dalam kehidupan bermasyarakat kedepannya. 

Menurut KBBI organisasi adalah suatu wadah yang akan menampung segala macam tujuan yang akan diperjuangkan seksama. Dalam artian jelasnya NU hadir demi langsungan dan kebaikan negeri itu sendiri (penggerak nasional).

NU sendiri adalah sebuah jam'iah atau sebuah organisasi masyarakat indonesia. Asal mula didirakannya NU pada waktu itu beralihnya kekuasaan di Hijaz pada tahun 1924. Yang mana kemenangan saat itu berpihak kepada Ibnu Saud, dan  kabar tersebut merupakan angin segar setalah Ibnu Saud mengundang umat islam untuk menghadiri mukhtamar khilafah di makkah.

Pada saat itu kelompok taswirul afkar yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah dan memiliki inisiatif mendirikan sebuah jam'iah (organisasi), lalu inisiatif tersebut disampaikan kepada hadratus Syekh Kh. Hasyim Ashari, namun beliau tidak mudah menerima inisiatif dari siapapun walaupun itu  KH. Abdul Wahab Hasbullah apalagi inisiatif tentang mendirikan jam'iah, karena dikala itu mendirikan sebuah jam'iah jika tidak diperhitungkan dari segi manfaat dan mudorotnya kemungkinan besar itu akan menjadi sebuah keuntungan bagi para penjajah.

Beliau sangat berhati-hati untuk memutuskan inisiatif tersebut dan beliau juga takut terpecah belahnya umat islam hanya karan sebuah jam'iah yang tidak diperhitungkan dengan benar. Untuk mengambil keputusan dengan benar dan bijak maka KH. Hasyim Asy'ari memilih untuk melakukan isthihara dan memohon petunjuk kepada Allah SWT. 

Permohonan KH. Hasyim Asy'ari ternyata dikabulkan oleh Allah melalui perantara KH. Khalil Bangkalan. Beliau juga termasuk guru dari KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah. 

Petunjuk tersebut berisikan tentang surat thaha ayat 17-23, Kemudian KH. Khalil bangkalan menyampaikan petunjuk tersebut melalui perantara KH. As'ad Syamsul Arifin, dan setealah diterimanya tongkat dan sebuah ayat KH. Hasyim beranggapan bahwa itu sebuah izin untuk mendirikan sebuah jam'iah. 

Setahun kemudian KH. Khalil mengutus KH. As'ad Syamsul Arifin untuk bertemu dengan KH. Hasyim Asy'ari dan beliau menyampaikan sebuah tasbih disertai dengan bacaan 'ya jabbar- ya qahhar' agar diamalkan setelah sholat lima waktu, pesan terbut menambahkan keyakinan KH. Hasyim Asy'ari untuk mendirikan jam'iah untuk para ulama pembela islam ahlusunnah wal jamaah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline