Lihat ke Halaman Asli

"Yuna"

Diperbarui: 31 Januari 2016   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“YUNA”

Bujukan Prian terhadap Yuna sepertinya membentur tembok. Dari raut muka dan bahasa tubuhnya, Yuna seperti bergeming dengan ajakan Prian untuk alih profesi. Sedari tadi Prian berusaha meyakinkan Yuna untuk mau bekerja di sebuah perusahaan go public yang tengah menjalankan investasinya di kota pempek ini. Yuna mengisyaratkan lebih memilih dunianya sendiri. Dunia hiburan malam yang gemerlap. Yang rutinitasnya mampu merubah seorang lajang cantik berusia 17 tahun sekalipun, akan terlihat seperti wanita --meski tetap cantik—yang telah berusia 30 tahun.

Keinginan kuat Prian untuk meyakinkan Yuna nyaris membuat rusak suasana. Yuna lebih menyadari itu.  Sebagai aksi penyelamatan, wanita berkulit putih itu akhirnya menjawab dengan aksen manado yang terkesan sengaja ditonjolkan.

“Baeklah.. kitorang akan ikut kamu besok ya…”

“Oke! Kamu coba ikut dulu besok ya. Kuharap kamu tak terlalu mabuk malam ini, karena besok jam delapan pagi kita harus sudah bersiap.”

Kalimat terakhir sengaja diucapkan Prian setengah berbisik di telinga mungil Yuna. Bisikan tulus. Berharap wanita berusia 21 tahun itu mau menemani Prian untuk agenda bisnis esok.

Entah mengapa Prian merasa mendapatkan chemistry dengan wanita berambut lurus seleher itu. Bukan lantaran semerbak wangi parfum Yuna yang membentuk perasaan itu. Bukan pula disebabkan hidung mungil dan indah bibirnya.

Prian mengenal Yuna baru saja. Pembicaraan tadi meluncur begitu saja kurang lebih setengah jam sejak perkenalan keduanya terjadi. Hal itu berlangsung di tengah bising lantunan musik karaoke dan kerlip lampu disco yang bersinar remang di sudut ruangan, yang terletak di salah satu Hotel berbintang di Palembang. Perjalanan bisnis jua yang mendamparkan Prian ke lokasi itu.

Yuna bekerja sebagai pendamping lagu di tempat itu. Kepada Prian, Yuna mengaku baru seminggu berada di kota yang memiliki ikon jembatan Ampera tersebut. Informasi itu selaras dengan perkataan manajer karaoke yang menyebutnya “barang baru” di tempat tersebut. Pemilihan kata yang mengesampingkan nilai humanisme. Mahluk indah ciptaan Tuhan ini terdengar seperti komoditi saja di telinga Prian. Mungkin hal itu juga yang mendorong Prian untuk bermanuver.

***

“Yuna, aku tunggu di restaurant di lobi hotel ya. Kamu sudah di mana?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline