Lihat ke Halaman Asli

Museum Keperesidenan Gejala Post Power Syndrome SBY

Diperbarui: 18 Juni 2015   04:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MUSEUM KEPRESIDENAN GEJALA POST POWER SYNDROME SBY

Membaca artikel kompas online yg berjudul : "Mendikbud: museum kepresidenan murni ide SBY" disini menyentil pikiran saya. Dalam hati saya bertanya, apa yg dirasakan Presiden ke 6 RI tersebut menjelang akhir masa kepemmpinannya, hingga tergerak pikirannya untuk membuat sebuah museum Presiden?

Dalam artikel tersebut di atas dijelaskan bahwa ide pembangunan museum itu murni ide SBY yg berawal dari keinginan sang Presiden untuk mengabadikan sejarah seluruh presiden RI dahulu dan mendatang. Hal itu dilakukan agar masyarakat mudah mengetahui rekam jejak sang mantan presiden. Sekaligus bisa menjadi wisata edukatif bagi para pelajar. Masih di artikel yg sama dijelaskan oleh Mendikbud M. Nuh, hal itu untuk mempermudah warga mencari tahu informasi seluruh mantan presiden RI. "Jadi jika ingin mencari tahu tentang presiden Soekarno misalnya tak perlu jauh jauh ke blitar cukup ke museum saja". Begitu kira kira cuplikan bebas wawancara sang menteri.

Entah mengapa terlepas baiknya niat sang Presiden tersebut di atas, kok justru saya melihatnya sebagai sesuatu yang miris ya.. Sepenting dan semendesak itu kah maka kementerian terkait begitu cepat merespon ide sang Presiden untuk segera merealisasikan "perintah" sang Pemimpin?! Dalam artikel tersebut dijelaskan sumber pendanaan kemungkinan akan diambil dari dua kementerian terkait yakni Kemdikbud dan Kementrian Pekerjaan Umum. Apakah sudah tak ada lagi sekolah sekolah di pelosok negeri yg reot yang membuat seluruh siswa siswi dan pengajarnya was was ketika melakukan kegiatan belajar mengajar karena terancam bangunan rubuh dan tetes hujan karena bangunan tak layak guna? Atau di Kementrian PU misalnya. Apakah di Kementerian tersebut sudah tak ada lagi infrastruktur di pelosok negeri yang rusak bahkan yang belum dibangun? Apakah seluruh jalan negara di seluruh provinsi sudah baik adanya hingga anggaran yang ada lebih layak dialihkan untuk pembangunan sebuah museum dibanding membangun infrastruktur baru atau memperbaiki infrastruktur rusak di pelosok negeri?

Untuk menjawab pertanyaan saya tersebut maka para pembaca bisa melihat sendiri fakta di wilayah kita masing masing. Apa seluruh kebutuhan masyarakat lebih luas terkait dua kementerian tersebut sudah tak ada lagi "cacat" nya? Tidak ada sekolah rusak? Tidak ada anak anak putus sekolah? Tidak ada jalan rusak parah yang menghambat  jalur transportasi? Dan segudang "tidak ada" lainnya di pelosok negeri kita ini yang bisa pembaca jawab kemudian dengan melihat fakta menyedihkan di masing masing wilayah kita hingga layak bagi dua Kementerian tersebut memprioritaskan pembangunan museum "ide sang presiden" tersebut dibanding menggunakan anggaran yang ada untuk keperluan lebih mendesak di pelosok daerah???

Rasanya sah sah saja jika Indonesia melalui sang Presidennya ingin membuat museum khusus sejarah mantan presiden RI. Semua itu boleh saja jika memang tak ada kepentingan lain yang lebih mendesak atau penting seperti yang penulis jabarkan sedikit di atas. Jika negara sekaliber Amerika atau Inggris melakukan itu rasanya kok biasa saja. Karena kita semua tahu kedua negara itu sudah sampai di titik mana pelayanan terkait kesejahteraan dasar warga negaranya yang sudah difasilitasi pemerintah mereka. Tapi jika Indonesia???

Belum lagi jika kita bicara tentang minimnya anggaran pemerintah. Dengan fakta minimnya anggaran pemerintah tersebut maka manajemen sedangkal apapun tentu akan membuat skala prioritas penggunaan anggaran. Apalagi jika kita bicara manajemen anggaran sebuah negara yang luas seperti indonesia. Maka melihat fakta di atas apakah pembangunan sebuah museum di tengah minimnya anggaran pemerintah masuk dalam skala prioritas? Belum lagi kita pernah mendengar fakta pemerintah menjelang pilpres lalu yang mendengungkan negara mengalami defisit anggaran. Entah apa makna defisit anggaran tersebut buat pemerintahan saat ini jika melihat rencana pembangunan museum tersebut. Di mata awam seperti saya pengertian defisit seharusnya dimbangi dengan penggunaan anggaran dengan skala prioritas yang tinggi. Bukan menggunakan anggaran untuk hal yang tidak mendesak dan berdampak luas.

Rencana pembangunan museum itu seperti yang telah saya ungkapkan di awal memang baik jika dilakukan di saat yang tepat. Tapi kok untuk saat ini rasanya belum lagi tepat. Ini berbeda dengan keinginan kuat mendiang Founding Father yang sekaligus Presiden pertama RI Ir Soekarno, yang dahulu ngotot ingin membangun Hotel bintang berstandar internasional yang akhirnya diwujudkan dengan pembangunan cikal bakal hotel Indonesia yang ada saat ini. Keinginan kuat sang proklamator itu dilakukan di tengah kesulitan ekonomi di masa awal kemerdekaan RI. Namun hal itu dinilai mendesak karena terkait dengan wibawa negara, yang baru merdeka di mata internasional. Jika melihat kejadian tersebut tentu kita patut berbangga. Karena memang kita butuh sebuah monumen yang menarik perhatian dan kepercayaan di mata dunia internasional yang sekaligus berguna sebagai akselerasi kepercayaan diri sebuah negara yang baru seumur jagung seperti RI tempo itu. Jika itu alasannya maka segenap masyarakat rasanya mayoritas tak berkeberatan. Karena di lain sisi pembangunan hotel tersebut justru mendatangkan lapangan pekerjaan dan penghasilan baru bagi warga. Tapi jika kita bandingkan dengan rencana pembangunan museum tersebut maka jauh panggang dari api.

Presiden ke 6 kita Bapak Susilo Bambang Yudhoyono rasanya bukan lah tipikal pemimpin yang serampangan dalam mengambil kebijakan. Bahkan cenderung sangat hati hati. Apalagi menyangkut citranya. Maka fakta negara kita saat ini dan keinginan untuk membangun sebuah museum yang menyedot anggaran tentu telah beliau pikirkan dampaknya. Dampak resistensi dan dampak citra yang bersangkutan tentu tak lepas dari pertimbangan pemimpin secerdas SBY yang dahulu terkenal akan strategi pecitraannya selama memimpin. Namun kali ini kok seperti terjadi paradoks dalam pandangan penulis. Jika kita melihat fakta yang ada dan tipikal seorang SBY yang sudah sama sama kita paham dalam mengambil kebijakan. Justru di senja pemerintahannya kok membuat ide serupa tersebut.

Tanpa maksud menghina seorang pemimpin negara. Keinginan membuat museum tersebut seperti mengesampingkan strategi pencitraan jangka pendek demi tercapainya pencitraan jangka panjang. Lebih dalam lagi dapat penulis katakan SBY seperti tak ingin dilupakan atas sumbangsihnya sebagai pemimpin RI selama dua periode hingga butuh monumen yang mengabadikan rekam jejaknya sebagai mantan presiden. Museum adalah medium yang tepat untuk mengabadikan momen lampau sang presiden. Maka tak penting lagi citra sesaat mengingat pencitraan tak lagi berguna penting untuk popularitas sang presiden. Toh tipikal masyarakat kita cepat lupa. Maka saat ini tak penting citra sesaat yang penting  jejak dapat terekam tidak sebatas terpampangnya foto di istana negara pasca usainya kepemimpinan.

Pada konteks ini saya yang mungkin berpandangan subjektif melihat sang Presiden ke 6 RI ini seperti terserang gejala Post Power Syndrome. Mengingat tak tercetus rencana serupa di era kepemimpinan tiga presiden sebelumnya. Entah mereka yang kurang visioner atau SBY yang terlampau jauh berpandangan. Entah... Yang jelas pembangunan di Republik ini masih memiliki banyak celah prioritas yang dibutuhkan dari sekedar menghabiskan anggaran untuk membuat sebuah museum presiden!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline