Lihat ke Halaman Asli

Bom Samarinda: Penanggulangan Terorisme Salah Resep?

Diperbarui: 15 November 2016   04:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lokasi serangan bom di Gereja Oikumene Samarinda. (foto: tribunnews)"

TERORISME dimanapun, sebenarnya serupa. Ia lebih dikelompokkan dalam kejahatan karena kebencian (hate-crime) dan balas dendam.

Pelaku (perorangan/kelompok), dalam persepsinya sering merasa dirinya adalah korban, yang teraniaya, tertindas, terpinggirkan atau dirugikan oleh kejahatan/perlakuan buruk negara atau bagian masyarakat yg lebih kuat dan berpengaruh. Teror bagi kelompok-kelompok ini adalah alat penyampai pesan yang efektif.

Terorisme menurut saya lebih relevan jika dikaitkan dengan fanatisme dan deprivasi relatif (kesenjangan antara harapan dan kenyataan). Soal deprivasi relatif, di Indonesia ini tak sulit menemukan bibit-bibit kesenjangan yang bisa dibudidayakan menjadi virus terorisme.

Di sini, praktik ketidakadilan dan diskriminasi masih marak. Lalu persoalan-persoalan ekonomi dan pendidikan juga belum beres. Orang patah hati, bankrut, kena PHK dan semacamnya, seringkali merasa sendirian.

Menggerakkan mereka melakukan hal-hal negatif lebih mudah ketimbang orang-orang yg secara pondasi mental ideologinya kuat. Mereka dieksploitasi sedemikian rupa sehingga muncul keyakinan bahwa apa yang mereka perbuat adalah satu-satunya jalan keluar.

Nah apakah deradikalisasi menyentuh persoalan-persoalan itu? Penggunaan kata deradikalisasi saja dalam upaya pencegahan terorisme, menurut saya sudah tidak tepat.

Selama ini kita mencoba menepis pandangan bahwa  terorisme identik dengan radikalisme agama. Namun para pemangku kepentingan penanggulangan terorisme justru lebih banyak merangkul kelompok-kelompok keagamaan besar dalam upaya deradikalisasinya.

Padahal, kalau kita melihat deretan nama-nama pelaku maupun orang-orang yang diduga/dinyatakan terlibat dalam aksi-aksi teror selama ini, adakah yang terafiliasi baik secara struktural maupun kultural dengan kelompok-kelompok dominan di Indonesia, NU atau Muhammadiyah misalnya? Program deradikalisasi nyatanya gagal menjangkau kelompok-kelompok rentan dan cenderung hanya bersifat seremoni saja.

Sampai kapan kita akan menjajal resep deradikalisasi sebagai penangkal? Terorisme sudah ibarat virus flu. Tak bisa mati. Cuma bisa dibuat tidak aktif. Syaratnya, kondisi tubuh dijaga tetap sehat dan bugar. Jika drop, flu mudah menyerang. Artinya, trigger-nya yang harus dijaga tak boleh hadir.

Mengingat terorisme ini tergolong sebagai hate-crimes, atau kejahatan atas dasar kebencian dan balas dendam, tentunya yang tak boleh hadir adalah kondisi yang bisa memicu kebencian, pembalasan dendam.

Tapi ya jelas sulit, wong itu sifatnya persepsi. Soal siapa lebih jahat, lebih merugikan, lebih dzalim. Yang jelas bibit terorisme bisa tumbuh subur dalam kondisi kecewa yang dalam, galau akut, 'baper' tingkat dewa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline