[caption caption="Breaking news Kompas TV tentang bom bunuh diri di Mapolresta Solo, Selasa, 5 Jyli 206"][/caption] Tiga serangan di tiga kota berbeda di Arab Saudi kemarin, sangat memprihatinkan. Kawasan suci Madinah, Masjid Syiah di Qatif dan kawasan Konsulat AS di Jedah menjadi sasaran bom bunuh diri.
Sepekan terakhir, ISIS memang dikabarkan mengganas. Rangkaian serangan bersenjata dan peledakan yang terjadi di Turki, Perancis, Irak dan terakhir di Arab Saudi dikaitkan dengan ancaman seorang petinggi ISIS pada bulan Mei lalu bahwa Ramadhan kali ini akan jadi bulan yang sangat berdarah-darah bagi musuh-musuh mereka. Selain rangkaian itu, sebuah serangan bersenjata di AS, dilaporkan juga terinspirasi ISIS.
Bukan mengecilkan makna peristiwa di Arab Saudi, otoritas Indonesia perlu lebih waspada terhadap potensi model serangan Turki dan Perancis, terjadi di sini. Selain karena sudah pernah terjadi sebelumnya dengan serangan Thamrin, situasi dan kondisi Indonesia memang lebih memungkinkan model serangan ke Bandara Istanbul dan serangan terhadap aparat kepolisian terjadi di Indonesia.
Rangkaian serangan itu bagi saya juga menunjukkan bahwa ISIS belum mengidentifikasi secara jelas musuh ideologisnya selain Syiah. Kecuali serangan ke Madinah yang tampak sebagai peringatan atas praktik apa yang mereka anggap sebagai bid'ah dan pemberhalaan di tanah suci, serangan ISIS selama ini lebih menggambarkan motif ekonomi-politik terkait aset, sumber daya dan teritorial.
Terkait Indonesia, saya berkali-kali mengingatkan bahwa kita masih sangat rentan terhadap aksi-aksi terorisme. Meski demikian, saya masih meragukan afiliasi langsung ISIS dengan kelompok-kelompok penggemar teror di Indonesia. Saya melihat mereka sebagai kelompok penggemar yang terinspirasi dan terus berupaya memelihara korespondensi dengan kekuatan-kekuatan utama ISIS di Timur Tengah. Juga mengajukan proposal bagi kiprah ISIS di Asia Tenggara dan sebagai daerah persiapan untuk menyerang Australia.
Rangkaian serangan kampanye horor ISIS pekan ini, menurut saya, bisa saja memotivasi mereka untuk kembali antusias berkorespondensi dan mengingatkan proposal-proposal yang telah diluncurkan. Tentu saja 'reminder' itu bukan sekedar surat, melainkan penanda. Berupa serangan kecil, simultan, sporadis dan acak, meski sasaran ruang publik dan aparat keamanan terutama yang relatif lemah, tetap yang paling potensial.
Peringatan Kapolri pekan lalu terhadap potensi teror di Indonesia, menunjukkan pemerintah sudah lebih waspada dan tak ingin kecolongan. Serangkaian upaya pengungkapan jaringan teror terus berjalan. Bahkan harus diakui lebih baik dari sebelumnya, dengan minimnya tersangka yang tewas.
Sayangnya, prediksi ini belum dibarengi peningkatan kewaspadaan yang lebih sistematis dan tidak terkesan panik. Jangan sampai ada semacam kelengahan karena sukses-sukses penangkapan kemarin sehingga hanya terfokus pada informasi-informasi para tersangka dan tidak mengembangkan kemungkinan-kemungkinan.
Pasalnya, euforia sukses kampanye ISIS di Timur Tengah, bisa saja menular. Jaringan teror yang sebelumnya merasa terjepit, terpacu semangatnya untuk beraksi. Meski dalam intensitas kecil hingga sedang yang bisa saja tak direncanakan jauh hari sebelumnya, atau bahkan berubah dari rencana awal.
Terkait dengan program-program deradikalisasi yang diusung pemerintah, dalam pandangan saya, metode sosialisasi melalui pengajian, ceramah Pancasila maupun kampanye belanegara, tak cukup efektif bahkan tak konstruktif. Hal itu sudah dilakukan sejak 15 tahun lalu, dan nyatanya tak membuahkan berkurangnya ancaman teror. Lagipula bagaimana kita menepis bahwa teror itu berkait dengan radikalisme agama, jika program-program pencegahannya mayoritas melibatkan kelompok berbasis agama?
Ratusan WNI yang dikabarkan berada di kawasan yang dikuasai ISIS, maupun penggemar-penggemar kelompok ini di dalam negeri, tak cukup menunjukkan bahwa mereka terafiliasi dalam kelompok-kelompok Islam arus-utama. Mereka bisa datang dari strata masyarakat mana saja. Fanatisme mereka tepatnya, dibangun atas dasar persepsi kebencian dan dendam atas apa yang dirasakan sebagai ketidakadilan, kemelaratan dan kebodohan.