Lihat ke Halaman Asli

Umbu Landu Paranggi Sehatlah, Kata-kata Menantimu!

Diperbarui: 6 April 2021   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Umbu Landu Paranggi, Sang Guru Penyair. (foto: akun twitter @fajar_arcana)

Kabar itu bermula dari akun twitter Putu Fajar Arcana, seorang editor sastra di Harian Kompas. Ia berkicau dan menampilkan gambar terbaru tentang Umbu Landu Paranggi. Sang guru penyair sedang terbaring di rumah sakit.

"Umbu Landu Paranggi ditemukan satpam perumahan terbaring lemah. Diperkirakan tak makan lima harian. Kini dirawat di RS Sanglah, Bali," kicau akun twitter @fajar_arcana, Minggu (26/10/2014) pagi.

Pria berjuluk Presiden Malioboro itu lahir di Kananggar, Paberiwai, Sumba Timur, 10 Agustus 1943. Usianya sudah cukup renta, 71 tahun. Sejak tahun 1960-an, Umbu Wulang Landu Paranggi kerap disebut sebagai tokoh yang misterius dalam ranah sastra Indonesia. 

Bagi putra bangsawan Sumba itu, manusia adalah makhluk yang punya magnet yang sanggup tarik-menarik di antara jiwa yang lain. Namun ia memilih setia pada kesunyian. Kesenangan hidup dikorbankannya untuk menyendiri, jauh sanak kadang, jauh dari dari murid-murid yang mengaguminya. Persis yang dikatakan sang murid, Linus Suryadi AG (almarhum), "penyair bersaksi dan berdiri di pinggir."

Banyak orang menilai ia tak sama tersohornya dgn Chairul Anwar, Rendra maupun Soetardji Calzoum Bachri. Betul, karena memang ia lebih suka menyimpan syairnya ketimbang memamerkannya.

"Kalau semua seperti Chairil atau Sutardji, mungkin dunia kepenyairan dan kebahasaan kita tumbuh lamban," tutur Umbu pada Putu Fajar Arcana dalam tulisannya, Umbu Landu Paranggi Berumah dalam Kata-kata.

Maka tetaplah Umbu Landu Paranggi dgn segala mitos dan misterinya. Tetaplah para murid seperti Emha Ainun Nadjib dkk berimajinasi dgn kerinduannya pada Sang Guru. Sebab itulah harta karun yg ingin diwariskannya. Baginya, puisi adalah segalanya, dan tanpa imajinasi, puisi hanyalah sesuatu.

Saya sendiri tak pernah mengenalnya langsung. Namun cukup bersyukur sempat merasakan atmosfer Seni Sono saat studi di Jogja tahun 90-an, hingga bangunan itu akhirnya dirobohkan Orde Baru. Sang Presiden Malioboro tak lagi muncul, namun warisan imajinasinya telah membuat kota pelajar ini tak pernah kekurangan stok penyair.

Umbu Landu Paranggi setia dengan pilihannya. Sebagai pohon rindang, sebagai pupuk, sebagai pijakan. Tak cuma di garis tepi, atau di balik 'tobong'. Ia menyelinap di ruang-ruang publik tanpa gaduh. Umbu, cepatlah sehat. Cepatlah kembali ke rumahmu, rumah kata-kata!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline