Lihat ke Halaman Asli

Cita-Cita Indonesia Emas dan Aktor Figuran yang Mengubah Sejarah

Diperbarui: 11 November 2023   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://bpac.in/what-defines-good-political-leadership/

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 24 Oktober 2023

Dari sejumlah buku bergenre politik yang pernah saya baca, mulai dari buku-buku terbitan lokal, nasional dan bahkan buku-buku internasional—yang membuat saya berkelahi dengan google translate dan aplikasi-aplikasi terjemahan yang kerap menjerumuskan—saya menemukan banyak sekali anekdot di sana. Meskipun sebagiannya terbilang lucu, namun hampir tak ada yang mampu menarik perhatian saya. Masalahnya, anekdot-anekdot itu hanya mampu mengajak kita tertawa dan belum berhasil mengajak kita berpikir. Karena itu, saya pikir anekdot itu hanya diproduksi untuk hiburan, bukan untuk mendidik apalagi untuk mengubah paradigma umat yang akhir-akhir ini kian absurd.

(Dalam paragraf di atas, soal buku-buku internasional, tentu saja saya berbohong; bukan apa-apa, hanya agar saya terlihat sedikit pintar).

Namun, saya ingat pada satu buku yang saya baca lima belas atau sepuluh tahun lalu. Buku itu ditulis Sukran Vahide, berkisah tentang biografi Bediuzzaman Said Nursi, seorang pemuka agama di Turki pasca runtuhnya Dinasti Usmani. Syukur buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga saya tak perlu repot-repot berkelahi dengan kamus dan google translate. Saya menemukan satu kalimat menarik di sana: audzubillahi mina syaithan wa mina siyasah. Untung saja waktu itu belum ramai tuding-menuding soal penistaan agama sehingga tak ada seorang pun yang menganggap kalimat itu sebagai pelecehan. Dalam bahasa Indonesia kalimat itu bisa diterjemahkan sebagai: Aku berlindung dari godaan setan dan politik.

Bagi saya, anekdot semacam ini bukan sekadar mengajak orang-orang untuk tertawa dan tersenyum-senyum sendiri, tapi lebih dari itu, mampu memantik urat-urat di kepala untuk berpikir deras. Bagaimana tidak, dalam kalimat itu, Nursi memandang politik setara atau mungkin sinonim dengan setan sehingga ia memohon perlindungan Tuhan dari godaan keduanya. Sebagai wujud baik sangka, saya pikir Nursi benar; bahwa setan dan politik memang sama-sama menggoda, menipu, menghanyutkan dan akhirnya menggiring kita ke neraka, apakah neraka akhirat atau neraka dunia.

Saya pikir saya tidak perlu memberi contoh untuk hal-hal seremeh ini. Ada banyak sekali karakteristik politik yang tampak sepadan dengan gaya-gaya setan ketika mereka mencoba menggoda Adam dan Ibrahim. Perbedaan hanya terletak pada sosok yang digoda. Adam berhasil digoda dengan tipuan yang dilakukan setan sehingga dia bersama istrinya memakan buah yang dilarang dalam surga. Sementara Ibrahim justru melempari setan dengan batu sampai setan itu lari terbirit-birit dan tersungkur di tanah.

Dalam politik pun begitu. Hari ini berkata begini besok berkata begitu. Hari ini bergaya lugu dan culun, tapi esok hari kelihatan tamak dan rakus. Hari ini berjanji, besok mengingkari. Begitulah setan dan politik saling berkelindan, saling meniru. Kalau sudah begitu, pilihan hanya dua: Mengalah pada setan seperti Adam atau menghajar setan seperti Ibrahim, melemparinya dengan batu-batu. Semuanya sangat bergantung pada pola pikir dan pola perasaan masing-masing kita: menyerah atau melawan.

Capres-Cawapres Menjelang Indonesia Emas 

 Anggap saja penjelasan saya di atas sebagai anekdot belaka. Jangan diambil hati, apalagi sampai dibawa perasaan. Beban negara sedang berat, jangan ditambah lagi dengan timbangan perasaan yang nantinya justru membuat kita semua tenggelam. Sekali lagi, kuatkanlah hati dan bersabarlah karena orang-orang sabar disayang Tuhan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline