Lihat ke Halaman Asli

Stagnasi Demokrasi Pasca Orde Baru

Diperbarui: 13 April 2022   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Fenomena transisi demokrasi dari era Orde Baru ke era Orde Reformasi agaknya bakal selalu menjadi bahan kajian penting, kaum akademisi mungkin lebih tertarik dan coba memahami lebih jauh hubungan antara jatuh nya sebuah rezim dengan krisis ekonomi dan "social movement" (Gerakan sosial) yang melingkari nya.

Sementara pelaku bisnis mungkin akan melihat era itu sebagai akhir Dari "Bubble economy" (gelembung ekonomi). Istilah ini merujuk kepada kondisi ekonomi dan bisnis yang seolah-olah sehat, tapi sesungguhnya amat sangat rapuh. 

Dari sudut pandang Demokrasi sembari menimbang-banding dengan negara lain yang juga mengalami transisi menuju Demokrasi Indonesia kini di "persimpangan jalan" Dengan, sekurang-kurangnya, terdapat tiga pilihan di hadapan nya yang masing-masing memiliki konsekuensi berbeda.

Jalan pertama, membawa kita kepada Demokrasi yang terkonsolidasi dan damai. Jalan kedua, membawa kita berputar arah dan kembali ke sistem lama, lambat ataupun cepat.

Sementara jalan ketiga, membawa kita berputar-putar tak tentu arah, yang sesekali diramaikan pula oleh konflik sosial beraroma SARA (Suku, Agama, Ras, Antar golongan) dan berdarah-darah. Ciri terakhir ini, sering disebut sebagai gejala "Amerika Latinisme", sebuah terma yang mencitrakan proses Demokrasi " Bersimbah berdarah" Pada setiap pergantian kepemimpinan nasional dinegara Amerika Latin.

Pertanyaan nya: kemana arah tujuan Demokrasi kita? Apakah kita memilih jalan pertama, kedua, ketiga? Sepenuhnya sangat tergantung pada kedewasaan kita menghadapi kompleksitas dinamika kehidupan nasional.

Masa transisi, sejatinya adalah lahan subur sekaligus tantangan bagi peminat studi politik dan aktivis gerakan pro-demokrasi. Sebab era ini adalah momen yang tepat untuk merumuskan kembali teori perpolitikan Indonesia mutakhir atau untuk menguji secara kritis teori-teori yang terbangun sebelum nya. Salah satu topik terpenting disini adalah hubungan timbal balik negara-rakyat. Sebagai kekuatan besar yang menentukan capaian transisi ini.

Negara dan rakyat adalah dua variabel amat penting yang tak dapat di abaikan. Demokratisasi, karena itu, acapkali merupakan hasil peneguhan dan dinamika rakyat "vis a vis" (Berhadapan) negara. Itu sebabnya, tak berlebihan agaknya bila negara, sebagai institusi dengan Otoritas besar dan meminjam perspektif Weber "Dapat menerapkan kekerasan atas rakyat", menjadi variabel penting yang mesti selalu dicermati.

Shang Yang, negarawan Tiongkok abad 4 SM mungkin benar ketika mengatakan,"rakyat lemah berarti negara kuat, dan jika negara lemah berarti rakyat kuat". Tiongkok masa itu, memang berada pada sebuah zaman yang genting. Suatu periode ketika kekuasaan pemerintah pusat, "Sang Putra Langit" hanya nominal, dan masing-masing wilayah bagian bertindak sebagai raja-raja yang berdaulat* Sejatinya, "fatwa" Shang Yang hendak mengandaikan jika negara kuat tidak boleh memiliki rakyat yang kuat pula.

Itu sebab proses pelemahan rakyat pun mutlak dilakukan : rakyat harus dibodohkan, kemauan dan mimpi mereka mesti dimusnahkan biar tak rewel, tradisi nya harus dihancurkan, kenangan masa lalunya mutlak dilenyapkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline