Lihat ke Halaman Asli

"Utang Mah Gampang, Bayarnya Tangguhan"

Diperbarui: 31 Juli 2019   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Photo: https://www.djangkarubumi.com

Berutang bukanlah hal baru dalam masyarakat sosial sehari-hari. Hutang telah tumbuh berkembang dari masa ke masa, dari satu keturunan ke keturunan berikutnya. Kadang kala seperti sebuah budaya yang terus terjaga tanpa akhir. Layaknya seperti sebuah negara berkembang atau miskin yang sangat bergantung pada utang. 

Kondisi ini sering sekali di dasari oleh faktor kesulitan ekonomi yang di hadapi oleh si penghutang. Namun tidak jarang banyak situasi lain yang berperan dalam memunculkan sikap berhutang. Salahkah? Tentu saja tidak, namun bagaimana menghilangkannya menjadi sebuah pertanyaan yang sulit di jawab. 

Dalam realitas dunia perhutangan, sering sekali memunculkan persoalan hingga berujung sebuah konflik yang di dasari utang piutang antara kedua pihak. Sering sekali kondisi awal munculnya hutan lebih harmonis dan baik-baik. Namun, menjadi sangat kontras dan bertolak belakang ketika hutang tersebut jatuh pada masa bayarnya. Situasi kedua pihak menjadi rawan pada permusuhan. Tidak jarang, teman menjadi musuh, keluarga menjadi cerai berai. Inilah repotnya di hutang dan berutang. 

Nuansa melunasi hutang sering menjadi suasana hangat yang tidak jarang berujung konflik. Kedua belah pihak sering sekali tidak menemukan komitmen terhadap persetujuan awal ketika hutang itu di laksanakan. Terutama si penghutang yang tidak segan-segan melanggar perjanjian awal utang piutang berlangsung. 

Pengingkaran terhadap komitmen awal [karena ketidak sanggupan melunasi] memicu perseteruan antar kedua pihak. Ketika berhutang mudah, namun membayar menjadi sangat sulit. Inilah yang perlu di hayati dan disadari bahwa berhutang idealnya sesuai dengan kemampuan dan bukan dengan mimpi yang belum tentu nyata. 

Sumber Photo: https://www.twgram.me

Sikap melarikan diri dari hutang sering sekali di praktekkan oleh mereka yang berutang. Bersembunyi dari niat baik semula ketika berutang tidak jarang dilaksanakan. Namun, ini menumbuhkan perselisihan yang mendalam dan berujung nekad dari si pemilik modal [hutang]. Ungkapan, berutang mudah, membayar sulit, tidaklah salah.

Dalam berbagai realita utang piutang sangat sering tidak berjalan dengan baik dan mulus. Penyelesaian antara kedua belah pihak yang awalnya baik-baik [bersaudara] disudahi dengan saling membenci atau malah mendendam. 

Melunasi hutang memang berat, tetapi alangkah eloknya berutang harus sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Membayang sesuatu yang belum nyata sering sekali dijadikan landasan dalam melunasi hutang. Banyak orang yang menjual hayalan ketika membuat komitmen hutang, namun akhirnya terjerebab dalam kenistayaan ketidakmampuan menyelesaikan hutan.

Akhirnya, pelarian menjadi salah satu pilihan dan meninggalkan hutan tanpa penyelesaian. Ini yang perlu di perhatikan dalam perencanaan sebuah hutang. Jangan karena kalap, lalu hutang menjadi pilihan. 

Pertimbangkan kondisi ketika tidak sanggup melunasi lalu kabur dari kenyataan dengan melahirkan kebohongan kepada si pemberi hutan dan Sang Pencipta. 

Sumber Photo: https://tandapagar.com

Berhutang bukanlah jalan terbaik dalam sebuah persoalan apalagi bila itu di dorong oleh gaya hidup yang tanpa kontrol. Kesulitan keuangan tidak kemudian mengajak kepada sikap berutang, akan tetapi perlu di pertimbangkan secara mendalam alasan dari sebuah hutang itu diciptakan. Karena, ironinya membayar hutang itu akan sangat sulit dan berat.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline