Lihat ke Halaman Asli

Sebungkus Nasi yang Basi

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lusuh dan kumuh, pakaian yang dikenakan gadis itu seperti sudah tidak layak lagi menempel ditubuh kecilnya. Diatas badan trotoar dan  dibawah remangnya lampu jalanan, ia terlihat lahap menyantap sebungkus nasi dan sesekali meneguk air mineral dalam bungkusan plastik yang di genggamnya dari tadi. Entah apa lauk yang ada didalam bungkusan nasi itu, yang jelas ia terlihat sangat menikmati makan malamnya. Ya, mungkin itu makan malam. Atau mungkin juga makan pagi, siang dan malam yang dinikmatinya dalam waktu yang sama.

Jarum di jam dinding menunjukkan pukul 20:20 malam. Aku yang masih berpakaian rapi ala kantoran dengan segelas air putih di tangan masih saja fokus memperhatikan gadis kecil kumuh yang entah datang dari mana dan hendak kemana. Sepuluh menit sudah gadis itu menyandarkan tubuhnya pada tiang lampu jalan yang sesekali berkedip, makanannyapun terlihat sudah tak bersisa. Dia masih duduk ditemani sehelai karung yang ia taruh di pangkuannya.

“Apa yang ia lakukan ditengah gelap dan dinginnya malam kota ini?”

Hampir setiap malam pertanyaan yang tidak pernah ada jawaban itu terlontar dari bibirku. Bukan karena tidak ada jawaban, dan juga bukan karena aku tidak mau mencari jawabannya. Tapi karena setiap kali ku coba untuk turun menghampiri gadis kecil itu, hanya kedipan lampu jalan yang menghiasi pandanganku , dalam sekejap gadis itu menghilang tanpa jejak.

Lamunanku tentang gadis itu pecah bersama lantunan lagu A thousand years dari Christina Perri yang mengalun indah di telepon genggamku. Segera kurogoh tas kerjaku yang tergeletak dilantai. Kulihat layar benda segi empat itu. Pesan pendek dari Mama, hanya sekedar menanyakan kabarku yang jauh dari dekapannya. Aku memang tinggal jauh dari keluargaku, mereka berada di Propinsi Jambi, sedangkan aku mengadu nasib di tengah padatnya kota Jakarta. Lebih dari lima  tahun aku bercumbu dengan kota ini. Berpacu dengan kencangnya gulir waktu yang semakin lama semakin terasa sesak dan jenuh. Tuntutan biaya sekolah adik-adikku di kampung menjadi faktor utama aku bertahan di kota yang seperti tak berbelas kasih ini.

Kulayangkan lagi pandanganku keluar jendela, dan seperti biasa, gadis itu hilang entah kemana. Tiang lampu itu, berjarak sekitar dua puluh meter di bawah jendela kontrakanku. Disana dia selalu duduk menikmati makanannya. Ya disana, dan selalu pada jam yang sama.

***

Angin, seperti teman yang selalu setia menemaniku menyusuri trotoar jalan yang berdebu setiap malamnya. Malam-malam di kota ini terlihat sama, debu jalan yang melayang-layang jelas di udara dibawah remang-remang lampu menghiasi jalanan yang padat dengan kendaraan. Ratusan manusia berlalu-lalang. Entah apa yang mereka lakukan, seperti tidak ada lagi hari esok untuk melakukan itu semua. Di kota ini waktu terlalu berharga hanya untuk tidur beberapa jam saja.

“Aku lelah” Lirihku dalam.

Hanya dua kata itu yang mampu kuucapkan sepanjang perjalaan pulang dari kantor. Setelah itu diam, hanya hiruk pikuk kehidupan malam yang kudengar hingga memasuki komplek rumah susun empat tingkat yang kuhuni sejak lima tahun lalu.

Ku telusuri satu persatu anak tangga menuju kamarku di lantai 4 gedung tua itu. Langkahku gontai, seperti tidak punya harapan. Wajah Mama terlintas di benakku, wajah tua perempuan itu seperti memanggil-manggilku dalam gelapnya lorong tangga yang kunaiki. Seperti menyuruhku pulang sekedar hanya untuk tidur dipelukan hangatnya dan menikmati makanan olahan tangannya.

Makanan. Tiba-tiba aku teringat gadis kecil itu.  Kulirik jam tangan minimalisku, jarumnya menunjukkan pukul 20:05. Ku percepat langkahku menuju kamar dan membuka jendela. Seperti biasa gadis itu sudah duduk disana, dengan karung dan bungkusan nasinya.

Dibukanya bungkusan nasi itu dan diletakkan di depannya, di atas badan trotoar. Pemandangan itu yang kunikmati setiap malamnya. Dan entah kenapa aku sama sekali tidak pernah merasa bosan mempelototi gadis itu melakukan aktifitas yang hanya dia yang melakukannya, sendiri di tengah malam yang remang.

Tiba-tiba dia berdiri melihat kearah jendela tempat aku bersembunyi untuk melihatnya. Aku tidak bisa menghindar, tatapannya tajam menembus kornea mataku. Dadaku sesak, seperti ada tombak baru saja menghujam jantungku. Itu berlangsung beberapa detik, dan gadis kecil itupun berlari kearah gelap meninggalkan makanan yang belum sempat ia habiskan. Aku tersentak, ku susul dia dengan berlari menuruni anak tangga yang malam itu terasa semakin bertambah jumlahnya. Aku menggerutu, nafasku sesak, dan akhirnya usahaku sia-sia, gadis itu telah hilang bersama gelapnya langit malam. Hanya ada nasi dan selembar karung tergeletak di tempat itu. Ku arahkan lagi pandanganku ke kegelapan tempat gadis itu menghilang. Kosong, tak ada siapa-siapa.

Kuraih karung itu, banyak pertanyaan berputar-putar di otakku. Mengapa dia lari? Mengapa dia tidak menghabiskan saja makanannya ini? Mengapa dia tadi bisa melihatku? Mengada aku selalu memperhatikannya? Mengapa? Mengapa? Mengapa aku begitu peduli kepadanya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghakimiku layaknya seorang tersangka yang terbukti bersalah.

Langkahku kembali gontai menyusuri anak tangga menuju kamar dengan selembar karung ditangan kiriku. Sepintas kudengar bunyi serine dari kejauhan, entah serine apa itu, aku tak peduli dan tak pernah ingin peduli.  Kurebahkan badanku di atas ranjang besi yang menjadi pelepas penatku setiap malam. Ku rasakan ngilu di hulu hati. Ku tatap langit-langit kamar, penuh dengan jaring laba-laba. Ku belokkan pandanganku mengitari setiap sudut ruangan ini. Terasa sangat pengap, ternyata aku sudah lama tidak membersihkan kamar ini. Hari-hariku sibuk memperhatikan gadis itu, tak semalampun kulewatkan hanya untuk melihatnya menikmati sebungkus nasi setiap malamnya.

“apa yang ku cari dari gadis itu?”

Entahlah. Ku pejamkan mata, wajah mama terbayang lagi. Kali ini dengan air mata di pipinya.

***

Malam ini adalah malam ke empat setelah kejadian itu. Aku masih menungguhi jendelaku, berharap gadis itu muncul membawa sebungkus nasi malam ini. Tapi penantianku berujung sama seperti tiga malam sebelumnya, gadis itu tidak menyenderkan tubuh mungilnya di bawah tiang lampu itu lagi.

Angin malam menghempas tubuhku yang beku. Semakin kumenikmati malam itu, semakin aku rindu pada gadis kecil itu. Seperti ada sesuatu yang hilang, pergi bersamanya.

Hari-hariku terasa tidak sama, semakin melelahkan. Aku lelah dengan kesendirianku, aku ingin pulang. Kembali bersama keluarga kecil di Pulau Sumatera sana. Tapi aku tak bisa apa-apa, keluarga menggantungkan hidup padaku. Setiap tindakanku menentukan nasib adik-adikku. “Aku lelah, aku lelah Mama..!”

Aku duduk di depan jendela ini lagi, ditemani secangkir kopi yang masih panas dan sebungkus nasi goreng yang masih terbungkus rapi. Kali ini aku tidak lagi berharap gadis itu muncul membawa bungkusan nasinya. Aku hanya ingin menikmati angin, angin di malam ini.

Bulan itu terlihat sangat bahagia karena banyak bintang yang menemaninya bersinar malam ini. Irama gesekan dedaunan yang digoyang angin menciptakan rasa damai di hati. Debu yang melayang-layang di udara, dedaunan kering berterbangan kemana-mana. Malam ini alam terlihat sedikit berambisi menunjukkan kelebihannya. Mereka indah, seindah siluet anak manusia yang sedang berjalan itu. Remangnya lampu jalan mempercantik pemandangan yang dibuatnya. Siapa dia?

Aku seketika berdiri, hampir menumpahkan seluruh isi cangkir yang ada di atas meja di depanku.

“Gadis itu, ya, itu gadis itu!!” aku setengan berteriak, tapi cepat-cepat kubungkam mulut dengan kedua tanganku. Aku tidak ingin dia lari lagi karena mendengar suaraku.

Kuperhatikan lagi gerak-geriknya, tapi kali ini dia terlihat berbeda. Dia hanya melenggang tanpa membawa apa-apa. Aku teringat akan karung yang dia tinggalkan waktu itu. Karung itu ada bersamaku. Tapi mengapa dia tidak membawa sebungkus makanan seperti biasanya?

Lama ia duduk disana tanpa melakukan apa-apa. Sepuluh menit berlalu, aku berfikir, mungkin gadis itu belum mengisi perutnya malam ini. Tanpa fikir panjang, aku meraih nasi goreng dan karung yang ku letakkan di bawah tempat tidurku. Aku berlari keluar, menuruni tangga dengan sekuat tenaga yang aku punya. Aku tidak ingin hal yang sama terulang lagi, aku tidak ingin gadis itu pergi.

Aku mendekatinya dengan hati-hati. Perasaan was-was menghampiriku seketika. Seperti sedang mendekati harimau yang sedang tidur. Entah kenapa aku merasakan gugup yang kian memuncak ketika melihat jelas wajah gadis yang seakan tidak berdosa. Kali ini aku tidak melihatnya dari jendela, aku melihatnya tepat satu meter dihadapanku. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya yang terlihat lelap. Ku letakkan karung dan sebungkus nasi disamping gadis itu, lalu aku kembali ke kamar tanpa melihat kearah jendela lagi. Aku ingin dia menikmati makan malamnya setelah ia bangun nanti.

***

Malam ini terasa asing, seperti ada yang mengintai langkahku dari kejauhan. Kelamnya malam terasa sangat mencekam, bulu kudukku merinding. Tidak biasanya aku merasakan hal yang seperti ini. Angin malam serasa menghembuskan aura negatifnya ketubuhku yang dibalut jaket kulit.

Aku menoleh kebelakang, kutangkap secarik bayangan hitam ditubuh jalan, sekitar dua puluh meter di belakangku. Bayangan itu, bayangan sesosok manusia. Aku mulai mempercepat langkahku, setengah berlari ku susuri trotoar jalan yang sudah mulai sepi. Tapi bayangan itu, sosok itu seperti kukenali. Aku menghentikan langkahku, bayangan itu semakin mendekat. Dan kini terlihat jelas. Dia gadis kecil itu, dengan selembar karung dan sebungkus nasi ditangannya. Dia berdiri dua meter di hadapanku. Aku kaku, tak ada yang bisa kulakukan selain berdiri diam menikmati pertemuan yang mencekam ini.

Gadis itu melangkahkan kakinya dan berhenti tepat dihadapanku. Dia mengangkat wajahnya sembari menyodorkan bungkusan nasi yang ada ditangan kanannya.

“Mungkin ini punyamu”

Akhirnya aku mendengar suara itu, suara gadis yang selama ini hanya bisa aku lihat dari balik jendela kamarku.

Aku melihat kearah bungkusan yang ia sodorkan. “Ini sebungkus nasi” kataku sedikit tersendat.

“Ya, ini milikmu, aku belum membukanya dari semalam”

Aku terkejut, nasi itu adalah nasi goreng yang aku tinggalkan bersama karung di sampingnya semalam.

“Nasi itu untukmu” Aku membalasnya.

“Tidak, ini punyamu. Aku memang anak jalanan, tapi aku bukan seorang pengemis” suara gadis itu terdengar datar. Aku seakan tak percaya dengan semua yang aku dengar. Dia merasa dilecehkan oleh sebungkus nasi yang aku berikan.

“Tapi aku ikhlas memberikan itu padamu, itu untukmu” jawabku tegas.

Gadis itu tersenyum, “Aku tahu kau selalu memperhatikanku setiap malam aku duduk dan makan”.

Aku tercekat, seperti buronan yang difonis bersalah dipersidangan. Aku hanya bisa tertunduk.

“Maaf jika aku telah membuatmu merasa terganggu, tapi sungguh aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya penasaran dengan apa yang kulihat setiap malamnya”. Aku pasrah, hanya itu yang bisa kuucapkan sebagai pembelaan diri.

Dia menyerahkan bungkusan nasi itu, tersenyum, dan pergi kearah gelap diujung jalan. Separuh jalan ia berbalik menghadapkan separuh tubuhnya kearahku.

“Aku hanya membutuhkan karung ini untuk mendapatkan sebungkus nasi setiap harinya, dan terimakasih kau telah mengembalikannya”. Senyum simpul tergurat diwajah mungil itu, lalu menghilang ditengah kegelapan.

Aku masih berdiri disini, tepat dibawah cahaya lampu tempat biasanya gadis itu duduk menikmati makanannya. Pandanganku lekat ke sebungkus nasi goreng yang di tanganku. Aroma busuk nasi basi menyengat dihidungku. Ada secarik rasa yang tidak bisa kutemukan maknanya. Aku seperti dihadapkan dengan sebuah pintu besar berkilauan cahaya. Dia telah mengajarkanku cara memaknai hidup. Ternyata ada yang merasakan beban melebihi apa yang aku pikul saat ini,bahkan hanya untuk sebungkus nasi. Dan tiba-tiba aku sangat merindukan gadis kecil itu.

NB : Cerpen ini telah pernah dimuat di buku Antologi cerpen Kleptomania terbitan FAM Publishing.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline