Lihat ke Halaman Asli

Khairatun Hisan

Pencapaian tahun ini yaitu bisa mandiri

Integrasi Kecerdasan Emosianal dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Daniel Goleman)

Diperbarui: 14 November 2024   13:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tidak semua materi dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam dapat direlevansikan secara detail dengan kecerdasan emosional dalam perspektif Daniel Goleman, karena dengan alasan inilah materi-materi dalam kurikulum Pendidikan Agama Islam yang akan dibahas disini meliputi hubungan manusia dengan Allah swt., hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan makhluk lain dan lingkungan alam sekitar.

Kecerdasan emosional salah satunya adalah kesadaran emosional18 yaitu melatih kita untuk merasakan sensasi emosi pada diri sendiri. Membangun otot emosional merupakan program pelatihan yang dirancang berdasarkan fakta bahwa cara kerja kebugaran emosional sama dengan kebugaran fisik.

Dalam hal ini, bisa kita ambil hikmah dalam pelajaran kisah- kisah tarikh kebudayaan islam seperti kisah Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Saw., segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal. Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah, langsung mendatanginya untuk melaksanakan maksud tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab ra. yang melihat gelagat buruk pada penampilannya langsung menghadang. Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?” Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, “Aku datang ke negeri ini hanya untuk membunuh Muhammad”.

Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung menyergapnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian membawanya ke masjid. Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian yang sudah memberinya makan?”.
Para sahabat Rasul yang ada di tempat itu terperanjat kaget dengan pertanyaan Nabi Saw. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!.” Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar. Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu”.
Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum kepada Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya, “Ucapkanlah Laa ilaha illa-Lallah (Tiada ilah selain Allah).” Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”. Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.” Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!” Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu diuntung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi.

Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri. Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah.” Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu, namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul alamin.”
Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, tiada seorang pun di muka bumi yang lebih kucintai selain Muhammad Rasulullah.” Apakah kita pengikut ajaran beliau? Tetapi sejauh mana kita bisa memaafkan kesalahan orang? Seberapa besar kita mencintai sesama? kalau tidak, kita perlu menanyakan kembali ikrar kita yang pernah kita ucapkan sebagai tanda kita pengikut beliau. Sungguh, beliau adalah contoh yang sempurna sebagai seorang manusia biasa. Beliau adalah Nabi, suami, bapak, pimpinan, teman dan tetangga yang sempurna. Maka benar jika Allah mengatakan bahwa Beliau adalah teladan yang sempurna.

Penanaman kecerdasan emosional dapat diintegrasikan dalam materi pelajaran sejarah seperti yang dipaparkan di atas. Demikian halnya pada mata pelajaran lain, seperti Fiqh. Dalam Fiqh, diajarkan, misalnya, tentang kewajiban zakat dengan segala aturan-aturan yang terkait dengannya. Pendekatan yang lazim digunakan tentu saja pendekatan hukum. Pendekatan hukum ini akan lebih efektif jika diintegrasikan dengan penanaman sikap empati yang merupakan salah satu bagian dari kecerdasan emosional.
Empati (mengetahui perasaan orang lain) datang dengan sendirinya dan mengalir dari kesadaran aktif.19 Dalam emotional intelegence, Daniel Goleman menyebut empati ini sebagai keterampilan dasar manusia. Orang yang memiliki empati adalah pemimpin alamiah yang dapat mengekspresikan dan mengartikulasikan sentimen kolektif yang tidak terucapkan untuk membimbing satu kelompok menuju cita-citanya.

Seseorang yang memiliki kecerdasan emoisonal tinggi dapat bekerja efektif dengan siapapun karena dia mendengarkan tanpa prasangka. Kesadaran tentang pentingnya perasaan orang lain dan perasaan sendiri memudahkan kita menghargai pendapat dan nilai-nilai orang lain yang berbeda, tanpa merasa terancam oleh perbedaan tersebut. Kecerdasan emosional yang memadai, akan dapat berkinerja dan mempunyai produktivitas yang tinggi. Guru menyampaikan permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan kepemilikan uang dan keharusan Islam untuk membayar zakat, infak dan sedekah. Dengan diskusi kelas siswa mengidentifikasi pengertian zakat, infak dan sedekah serta perbedaan prinsipil antara ketiganya.

Siswa diminta menunjukkan dan membaca/menghafal dalil naqli tentang zakat, infak dan sedekah. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk menghitung besarnya zakat mal yang harus dibayarkan dengan memberikan soal ceritera yang berkaitan dengan pembayaran zakat: seperti: Pak Amin memiliki deposito sebesar Rp. 35 juta dan sudah dimiliki selama 18 bulan. Apakah Pak Amin sudah termasuk wajib Zakat? Mengapa? Kalau sudah berapa zakat yang harus dibayarkan?

Setelah anak memahami pengertian zakat, infak, sedekah, dan penghitungan zakat: dengan teknik rangking anak diminta membuat prioritas terhadap sebuah masalah: Jika kamu mendapatkan uang sebesar dua juta rupiah, prioritas apa yang akan kamu lakukan dengan uang tersebut: ditabung, mentraktir makan teman, memberikan sebagian anak miskin dan yatim, membayar uang sekolah. Untuk merangking dapat dilakukan secara individual maupun diskusi kelompok.

Bila siswa memilih satu jawaban, guru dapat mendiskusikan lebih jauh dengan siswa, mengapa dia memilih jawaban tersebut. Setelah selesai diskusi dan tanya jawab, guru mengalokasikan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk siswa dapat membuat kesimpulan dan refleksi dari pembelajaran yang diterima dengan bimbingan dari guru. Guru membagi siswa dalam kelompok, menugaskan anak untuk: menyisihkan sebagaian uang jajan dalam satu minggu kemudian uang dikumpulkan, secara berkelompok anak meyedekahkan uangnya kepada anak-anak miskin dan anak jalanan sambil berbincang dengan mereka di sekitar sekolah.

Siswa menyusun laporan dan sharing pengalaman dengan kelompok yang lain dalam satu kelas. Pembelajaran pendidikan Agama Islam pada aspek kognitif tetap dilaksanakan, akan tetapi aspek sikap perlu lebih ditekankan. Selama ini ada kesan bahwa ibadah mahdlah lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan muamalah maupun akhlaq. Dengan kesan demikian kecenderungan menganggap bahwa jika sudah mengerjakan shalat, puasa, zakat dan haji, lalu memandang kurang penting implementasi nilai-nilai ibadah tersebut dalam konteks muamalah dan akhlaq.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline