Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia adalah salah satu komunitas migran terbesar yang bekerja di luar negeri. Para TKI seringkali bekerja di sektor-sektor seperti konstruksi, perkebunan, manufaktur, dan jasa domestik. Meskipun mereka berkontribusi besar terhadap perekonomian Malaysia dan juga mengirimkan remitan ke Indonesia, mereka sering menghadapi berbagai tantangan dan masalah.
Eksploitasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia dapat dianalisis melalui lensa Marxisme, yang menyoroti dinamika antara kelas kapitalis dan kelas pekerja. Marxisme mengemukakan bahwa kapitalisme secara inheren mengeksploitasi tenaga kerja dengan cara memeras nilai lebih dari pekerja untuk keuntungan majikan. TKI di Malaysia sering bekerja di sektor-sektor dengan kondisi kerja yang buruk, upah rendah, dan perlindungan hukum yang minim. Mereka menjadi bagian dari proletariat global yang mengalami ketidakadilan ekonomi dan sosial. Dalam kerangka Marxis, TKI dianggap sebagai komoditas yang diperdagangkan dalam pasar tenaga kerja internasional, di mana nilai kerja mereka dieksploitasi untuk meningkatkan surplus ekonomi bagi kelas kapitalis, baik itu pengusaha lokal maupun perusahaan multinasional. Ketidaksetaraan kekuatan antara TKI dan majikan mereka menciptakan lingkungan di mana eksploitasi menjadi hal yang biasa, memperkuat tesis Marxis tentang perjuangan kelas dan ketidakadilan struktural dalam sistem kapitalis.
Banyak TKI yang bekerja secara ilegal atau semi-legal, yang membuat mereka rentan terhadap penangkapan dan deportasi.Kondisi kerja yang buruk TKI seringkali bekerja dalam kondisi yang kurang layak dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Mereka juga mungkin tidak mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap hak-hak tenaga kerja. Pelecehan dan kekerasan beberapa TKI, terutama yang bekerja sebagai pekerja domestik, melaporkan mengalami pelecehan fisik, psikologis, dan seksual oleh majikan mereka.
Akses ke layanan kesehatan dan pendidikan seringkali terbatas bagi TKI, terutama bagi mereka yang berada di Malaysia tanpa dokumen resmi.Integrasi sosial meskipun banyak TKI yang telah lama tinggal di Malaysia, mereka mungkin menghadapi kesulitan dalam berintegrasi dengan masyarakat setempat.Pemerintah Indonesia dan Malaysia, serta berbagai organisasi non-pemerintah, terus berupaya untuk meningkatkan kondisi dan perlindungan bagi TKI di Malaysia melalui berbagai program dan kebijakan. Namun, masih banyak tantangan yang harus diatasi untuk memastikan hak dan kesejahteraan mereka terjamin.
Eksploitasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia adalah isu yang kompleks dan sering kali melibatkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan politik. Eksploitasi tenaga kerja terjadi ketika pekerja dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak adil, dengan upah yang rendah, jam kerja yang panjang, dan sering kali tanpa perlindungan hukum yang memadai. Latar belakang dari masalah ini dapat dilihat melalui beberapa aspek-aspek utama yang berkaitan.
Faktor keterbatasan lapangan kerja di Indonesia menjadi salah satu alasan, banyaknya warga indonesia yang mencari pekerjaan di luar negeri termasuk malaysia, karena keterbatasan lapangan kerja di dalam negeri dan tingkat pengangguran yang tinggi. Selain itu, karena adanya perbedaan yang signifikan dalam tingkat upah antara indonesia dan malaysia membuat banyak orang indonesia tertarik untuk bekerja di malaysia meskipun menghadapi risiko eksploitasi.
Tidak dipungkiri bahwa faktor sosial juga sangat berkaitan dengan tingginya lapangan perkerjaan di Malaysia. Keterampilan dan pendidikan sebagian besar tki yang bekerja di malaysia memiliki keterampilan dan pendidikan yang terbatas, membuat mereka lebih rentan terhadap eksploitasi karena kurangnya opsi pekerjaan lain. Banyak tki yang bekerja di malaysia atas dasar rekomendasi dari kerabat atau teman yang telah bekerja di sana sebelumnya, meskipun mereka mungkin tidak sepenuhnya menyadari risiko yang ada. Bahkan satu dari Sebagian orang yang mendaftarkan dirinya menjadi tki belum mempunyai gambaran menjadi tenaga kerja asing di negara orang yaitu Malaysia.
Regulasi kerja Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia sering kali dianggap kurang memadai dalam memberikan perlindungan yang efektif terhadap hak-hak dan kesejahteraan pekerja, regulasi yang ada di malaysia dan indonesia kadang tidak cukup kuat atau tidak diterapkan secara efektif untuk melindungi hak-hak tki. proses perekrutan yang tidak transparan dan biaya yang tinggi sering kali memaksa tki masuk ke dalam situasi kerja yang eksploitatif. Meskipun ada perjanjian bilateral antara indonesia dan malaysia yang bertujuan untuk melindungi tki, implementasi dan pengawasan di lapangan sering kali tidak memadai.
Praktik perekrutan yang salah menyebabkan banyaknya tki yang direkrut melalui agen tenaga kerja yang tidak resmi atau tidak berlisensi, yang seringkali menipu pekerja dengan janji palsu dan mengenakan biaya perekrutan yang sangat tinggi. ini membuat tki terjebak dalam utang dan situasi kerja yang eksploitatif.dokumen palsu dan visa kerja,beberapa tki masuk ke malaysia dengan dokumen palsu atau visa turis, membuat mereka rentan terhadap penahanan dan deportasi serta kurangnya perlindungan hukum.
Berita yang di lansir oleh reuters "Malaysia to review migrant labour deals to stamp out exploitation" Januari 17, 2024 9:31 AM. Yang dapat diartikan bahwa malaysia akan meninjau kembali kesepakatan tenaga kerja migran untuk memberantas eksploitasi. Dalam berita tersebut Menteri Dalam Negeri Saifuddin Nasution Ismail mengatakan "Kami akan meninjau kembali perjanjian-perjanjian tersebut dengan melihat berbagai elemen termasuk biaya, ongkos, kondisi kontrak, kesehatan dan sebagainya." Seperti yang kita ketahui bersama bahwa pekerja dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal menyumbang lebih dari 70% tenaga kerja migran di Malaysia, dan sisanya berasal dari negara-negara seperti India, Vietnam, Pakistan, dan Thailand.
Pernyataan Menteri Saifuddin Nasution Ismail mengenai peninjauan kembali perjanjian-perjanjian yang melibatkan TKI di Malaysia adalah langkah positif menuju perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran. Dengan fokus pada biaya, kondisi kontrak, dan kesehatan, diharapkan eksploitasi dapat dikurangi dan kesejahteraan pekerja meningkat. Implementasi yang efektif dan kolaborasi antara berbagai pihak akan menjadi kunci sukses dari upaya ini.