Melalui reruntuhan peradaban-peradaban di seluruh negeri, itu sudah sangat cukup untuk mengingatkan kita bahwa tak ada yang kekal di dunia ini.
The earth is littered with ruins of empires that believed they were eternal.
Lalu apa yang membedakan kita dengan yang lalu?
Karena terbatas dalam psikologi, saat maba saya mencoba mengenal diri sendiri dengan hikmah cara berpikir orang sejarah. Dimulai dengan menelusuri nama, tempat tanggal lahir, siapa kedua orang tua saya, siapa kakek nenek saya, memori bagaimana masa kecil saya, memori bagaimana tumbuh kembang saya, dan lain-lain. Ini membuat saya menemukan sesuatu yang mirip dengan personal swot analysis (strengths, weaknesses, opportunities, threats). Trial and error dengan segala ketidaktahuan, saya merangkai beberapa hal layaknya puzzle.
Dengannya, tak sengaja menemukan penawar yang membuat saya tak takut dengan quarter life crisis, fomo, insekuritas atau apa itulah yg sering dibicarakan di media sosial. Jika pondasi historisnya kuat maka takkan goyah, apalagi hilang arah.
Dulu dengan bodohnya saya menganggap permasalahan mempunyai jatah waktu, tapi nyatanya tidak. selain waktu, digenjot terus-terusan oleh masalah sebenarnya tak akan mengubahku. Saya akan sampai pada perubahan ketika saya belajar cara menghadapinya. Jika tak kunjung menemukan jawaban atas sebuah permasalahan, saya pasti menemukannya di kisah-kisah orang terdahulu. Bagaimana mereka menyikapi masalah dari lingkar terkecil seperti diri sendiri sampai ke ranah konstitusi. apalagi dalam Islam, ini sudah diterangkan dengan jelas.
Kita semua hanya mengulang kehidupan orang terdahulu dengan variabel-variabel yang sedikit berbeda. Kesimpulannya, kita hanya ditugaskan menemukan sintesanya. Ini membuat saya cocok dengan kutipan George Santayana, pemikir Spanyol-Amerika yang menurut saya selalu relevan di setiap zaman. Ia mengatakan "those who cannot remember the past, are condemned to repeat it" yang berarti "mereka yang tak dapat mengingat masa lalu, dikutuk untuk mengulanginya".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H