Lihat ke Halaman Asli

khailas.m

Mahasiswa

Tawasul dan Kompor Portabel

Diperbarui: 26 Februari 2024   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ini foto sebuah kompor./dok. pri

Islandia, siang menjelang sore. Dengan aktivitas hari-hari yang perlahan berubah, remaja dengan gaya khas pengangguran berangan-angan bimbang. Kebimbangan dalam membeli kompor gas atau kompor portabelkah ia. Maklum remaja ini baru saja menempati apartemennya dan sekarang, perutnya keroncongan. Ia tak suka makan di waralaba makanan cepat saji yang terkenal, itu mengingatkannya kepada kenangan-kenangan buruk. Setengah melamun mengendarai Indian Scout Bobber-nya, melaju menuju ayam geprek yang dicintainya. Tapi ini bukan tentang dua kali lipat porsi nasi yang dijual bakul itu, ini bagaimana acak pemikirannya ketika melewati sebuah kuburan.

A cemetery.

“Hari ini hari apa ya, thursday or friday? banyak mén orang ziarah.” Terkesan bertanya namun remaja ini tak benar-benar bertanya.

“Aku pengen ziarah kesitu juga, ziarah to my loved one.” Hening berdecak beberapa saat, “Lah wong my loved one ngga dikubur disitu, terus siapa yang mau tak ziarahi hahahaha.” Tampaknya remaja ini terlalu sering bangun siang karena perbedaan waktu antara Islandia dan Jogjakarta. Jetlag, culture shock, kendala geografis, entah apalah itu.

Suasana hening kembali menyeruak. “Kan isok dikirimi fatehah, isok long dungo relationship tawasul Islandia-Jogja hahahaha.”

Bertanya, menjawab, bertanya balik lalu menjawab, lalu menertawakan apa-apa yang sedang diproses oleh otaknya. Tapi menurutnya, bisa saja hal di dunia ini portabel seperti kompor yang menjadi opsi dalam kebimbangannya.

Meski kuburan dan manusia yang ada di dalamnya permanen, namun doa-doa orang yang mencintainya portabel dan nirkabel.

Bisa dibawa kemana-mana, travel size, syukur-syukur bisa menembus dimensi, bukan tembus langit.

Remaja ini menyebut doa bukanlah yang tercatat atau tembus ke langit atas secara vertikal, namun secara spasial dan temporal melebihi dimensi-dimensi yang dihuni oleh manusia.

Usut punya usut, kebiasannya berpikir hal-hal berat bermula seringnya ia bermain golf dengan Cak Nol, seorang sutradara film yang kondang di Jombang, masih bekas ibukota Majapahit di Jawa Timur. Sebelum berangkat ke Islandia, ia sering berdiskusi tentang perjalanan Kanjeng Rasul Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan seterusnya. Terkadang dia juga curhat kepada Cak Nol tentang bagaimana rumit pola pikirnya. “Mister, my life dipikir-pikir ruwet tur susah dinalar kayak your movies.” Cak Nol hanya tertawa kecil sembari membidik bola golf yang akan ia pukul. Setelah menghela nafas pak Nolan berkata ala bapak-bapak yang baru punya cucu, “Don’t try to understand it, just feel it.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline