Lihat ke Halaman Asli

Khaidir Asmuni

Penulis lepas

Tembang di Balik Makan Bergizi Gratis: Ada Susu untuk Temon dan Kipli

Diperbarui: 8 Januari 2025   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hari-hari yang penat, di musim hujan bulan Januari 2025, saat jemari lelah membrowsing peristiwa politik, perang atau bahkan teriakan para buzzer, terinterupsi dengan gambaran yang sangat berbeda yaitu anak-anak sekolah yang menikmati makan bergizi gratis.

Kita mungkin bukanlah seorang pembuat film yang handal, seperti layaknya drama Korea, di mana panggung kecil di sebuah dapur, bisa diolah menjadi drama hingga puluhan episode. Kita hanya bagian kecil masyarakat yang tidak mampu menggambarkan bagaimana hari pertama berlangsungnya makan bergizi gratis ini, sebuah peristiwa bersejarah ini, memendam banyak cerita yang tak terkisahkan.

Kisah kisah keluarga kecil pedesaan yang didera paceklik, kisah para orang tua masih muda yang ter-PHK. Kisah suka cita orang orang yang diterima PPPK atau yang kecewa. Kisah senang orang tua mendapat discount listrik. Ataupun kisah penggemar bola yang kehilangan STY.

Romantika kehidupan ini seperti tidak bisa mengaburkan begitu saja, situasi hari ini, 6 Januari 2025, saat ada 190 dapur di 26 Provinsi, anak anak Indonesia mendapat makan bergizi gratis.

Setiap dapur memiliki kisah sendiri. Yang bicara makna kebersamaan. The Power of Togetherness. Kesibukan kolektif yang dilakukan masyarakat dari mempersiapkan makanan, memberi pasokan sayuran, hingga kalkulasi agar mencukupi hitungan dari bujet.

Aktivititas ini seperti melupakan kesedihan dari peristiwa PHK, isu-isu hoaks yang gencar dilakukan di media sosial ataupun harga-harga yang mungkin sulit terjangkau karena situasi ekonomi yang sulit. Semua seolah terlupakan dengan adanya aktivitas dan kesibukan baru yang dialami oleh para ibu dan bapak.

Rasa rasanya hari ini, kehidupan negara dimulai dari dapur. Karena dari sini tekad berjuang untuk bangkit dimulai. Dari dapur, mentalitas itu terbentuk. Seperti tergambar di novel Chocolat karya Joanne Harris yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama.

Bagaimana dari olahan coklat di dapur seorang single mother Vianne Rocher menciptakan sebuah perubahan yang signifikan di sebuah desa di perkampungan Prancis sekitar tahun 1959.

Makanan coklat yang secara ilmiah mengandung serotonin, membantu masyarakat merasa baik dan bahagia. Perasaan sedih atau cemas, berubah lebih baik. Cokelat mengandung sesuatu yang disebut triptofan, yang merupakan bahan penyusun serotonin.

Digambarkan dalam film itu, suasana di pedesaan yang kaku. Kental dengan tekanan psikologis. Kehidupan keluarga kurang harmonis. Ketegangan dan komunikasi di masyarakat sering terjadi.

Kehadiran Vianne Rocher di kampung tersebut yang mulai membuat makanan kue dari coklat memberikan perubahan yang cukup berarti. Suami-istri yang semula dingin jadi mesra. Keluarga yang dulunya dingin jadi hangat. Dari  tegang berubah menjadi rasa cinta dan kasih sayang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline