Lihat ke Halaman Asli

Khaidir Asmuni

Penulis lepas

Omnibus Law: Hard to Say I'm Sorry

Diperbarui: 28 November 2021   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pribadi

Melihat sikap anggota legislatif dan pemerintah yang diwawancarai sejumlah stasiun televisi, sebut saja Metro TV, Kompas TV dan stasiun TV lainnya, pascakeputusan Mahkamah Konstitusi No 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November 2021 tentang uji formil Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, memang terkesan tidak ada yang kalah atau menang. Meski keputusan menunjukkan harus dilakukan perbaikan. Juga tidak ada kesan siapa yang salah atau benar. Atau siapa yang baik atau buruk. Karena suara Legislatif dan Eksekutif yang ditampilkan tetap lantang, sama keras dan garangnya dengan para pengamat hukum yang mengkritisi. 

Omnibus Law yang mendapat tantangan sejak dalam proses pembuatannya ternyata terus mendapat pembelaan. Meski ada unjuk rasa hingga kritik yang sangat tajam. Juga saat pengesahannya dilakukan tengah malam. Sikap tidak berubah: tak gentar membela omnibus law. Sebetulnya sangat mudah untuk melacak bagaimana proses lahirnya omnibus law tersebut di dunia maya yang mendapat reaksi dari masyarakat. 

Media dan jejak digital dunia mayapun mencatat, waktu itu salah satunya ditemukan hal yang sedikit janggal. Pada halaman 6, tepatnya pada Pasal 6 yang mengatur detail salah satu ruang lingkup UU Cipta Kerja, yaitu peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Dituliskan di sana, Pasal 6 merujuk pada ayat 1 huruf a pasal 5. Namun, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak ada ayat tersebut. 

Pasal 5 ditulis tanpa ayat ataupun huruf sebagai turunannya. Hal lainnya, ada media yang mencoba membandingkan naskah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan naskah yang disahkan di Sidang Paripurna DPR RI, berjumlah 905 halaman. Selain berbeda 202 halaman, ada perubahan di pasal 5 tersebut, jika dibandingkan dengan Pasal 5 UU Ciptaker yang telah ditandatangani Presiden. 

Kondisi seperti ini, seperti yang digambarkan aktivis atau para pengamat adalah sikap yang dipertontonkan oleh eksekutif dan legislatif sepanjang proses pembuatan UU Omnibus Law yang berujung "kecacatan" formil. 

Di tengah ratusan ribu massa tumpah ke jalanan. Protes ratusan akademisi dan aktivis. Bahkan ada yang ditangkap dan dipenjara menjadi bagian sejarah tersendiri tentang lahirnya omnibus law tahun 2020 lalu. Saat menerima putusan tersebut dari Mahkamah Konstitusi 25 November 2021 lalu para menteri yang hadir tampak tegar. 

Tegak. 

Tidak tampak tertunduk. Mereka layak "diapresiasi" dengan sikap menghormati putusan itu dan akan melakukan perbaikan. Yang menarik adalah analisis perbedaan hakim dalam menyikapi uji formil ini ada yang menyebut "negarawan". 

Kata itu diberikan untuk mereka yang memperhatikan sisi lain dari uji formil itu. Salah satunya karena pertimbangan bahwa omnibus law telah berjalan satu tahun dan banyak kebijakan yang dikeluarkan. Negarawan? Ya. Meski karena perbedaan sikap itu menghasilkan produk hukum jalan tengah. Yang sebagian kalangan menilai sebagai keputusan win win solution

It's hard to say I'm sorry. Meski sejauh ini perjalanan omnibus law telah menghasilkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi memang berat untuk mendengar ada yang mengucapkan kata maaf.

Yang satu merasa benar dan yang lain merasa tidak salah. Kendati sudah ada keputusan MK, yang meminta hal itu diperbaiki, tetap saja kata maaf makin jauh panggang dari api. Semuanya not guilty. Sementara untuk melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut Undang-undang Cipta kerja harus melakukan perbaikan selama 2 tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline