Lihat ke Halaman Asli

Kesepakatan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kembali ke dunia tulis menulis setelah beberapa hari ini bergelut di dunia koding. Haha…

Di tandai di sebuah notes yang membuat aku jadi banyak berpikir dan merenung. Istirahat dari printf(“bla-bla-bla”); scanf(“%d”,&lalala); while(P!=NULL){….}, say yes to looping, say no to rekursif, dan lain-lainnya itu…

Dan kini aku jadi berpikir kenapa selama ini aku tidak menyukai sesuatu. Apakah sebabnya? Apa hanya karena aku tidak bisa? Akalku tak sampai memikirnya. Hanya karena itu? Oh, kalau iya. Sombong benar aku ini.

Aku jadi berpikir kenapa aku bilang sesuatu itu salah? Apa hanya karena aku tidak bisa melihat nilai kebenaran dari hal tersebut?

Apa itu benar dan salah? Baik dan buruk? Bukankah itu hanyalah sebuah sistem nilai yang mencoba dibangun oleh manusia? Sistem nilai yang rapuh.

Hidup itu perlu aturan. Ya. Saya senada. Saya juga bukan binatang yang tidak mau diatur. Yang ketika lapar mengamuk, dan ketika diberi makanan diam. Tapi karena saya bukan binatang juga saya nggak mau seenaknya diatur-atur, digiring-giring kayak bebek.

Tapi… saya jadi berpikir.

Apa aturan itu? Pernah denger sih… intinya sesuatu yang bersifat memaksa yang harus dipatuhi. Memaksa. Kalau begini adalah subjek dan objek. Selama subjeknya adalah Tuhan dan objeknya adalah makhluk. Saya setuju seratus persen. Saya tidak ingin berbicara soal ini. Karena saya tahu saya ini cuma makhluk yang diciptakan olehNya. Tidak ada sebuah ciptaan yang bisa melebihi dari ciptaanNya. Saya terlalu bodoh kalau sudah bicara masalah keimanan. Saya takluk padaNya.

Tapi ketika subjek dan objeknya sama-sama manusia. Kenapa harus mematuhi sesuatu yang tidak lebih tinggi dari kita? Karena ada sebagian kecil yang bisa berpikir lebih, maka dibuatlah sesuatu yang bernama stratifikasi sosial. Dan yang bodoh, atau pragmatis, apatis dan oportunis hanya mengikuti yang ada. Timbul sebuah budaya keningkratan, keturunan. Sistem nilai yang sangat bodoh. Feodalisme. Namun ternyata, ningrat-ningrat ini terlena dan jadi bodoh. Karena mereka memerintah dengan kesombongan. Merasa lebih hanya karena gelar keningratan.

Orang-orang pintar pun berganti. Mereka yang merasa terinjak-injak oleh budaya yang ada, menginginkan sebuah perubahan. Kini para borjuis (kaum pengusaha) yang berjaya. Mereka lebih canggih dalam menyusun struktur sosial. Mereka “berkuasa” dengan gelar dan kesombongan tapi dengan sesuatu bernama kebutuhan materi. Dan manusia tidak bisa lepas dari kebutuhan materi. Jadilah semuanya dinilai dari sesuatu yang kuantitatif. Dan kita akui, inilah sesuatu yang paling bisa disepakati sebagai sesuatu yang objektif. Sistem nilainya tentu masih rapuh. Karena hanya brfokus pada apa, kapan, dimana. Terkadang tidak berarti apa-apa. Karena pandangan subjektiflah yang membuat apa, kapan dan dimana ini bisa bernilai sesuatu. Tapi itulah yang disepakti hari ini. Dan semuanya berakhir dengan apatisme, pragmatisme dan oportunisme. Karena orang-orang pintarnya belum berganti. (Suatu saat pasti akan ada yang merobohkan sistem nilai ini. Karena sistem ini hanya dibuat manusia. Rapuh.)

Ini hanya pikiran saya yang sangat subjektif. Aturan itu adalah adalah sesuatu yang disepati untuk dipatuhi. Bahkan kita butuh kesepakatan untuk sesuatu yang bernama “aturan”.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline