Carang Pulang, sebuah kampung yang berlokasi dekat dengan IPB University yang merupakan institusi pendidikan ternama dalam negeri, seharusnya mengalami kemajuan pembangunan yang pesat. Jarak yang sangat dekat dengan institusi tersebut seharusnya membuat Carang Pulang menjadi sebuah kawasan yang sepenuhnya terpengaruh oleh keberadaan kampus prestisius tersebut. Sayangnya, realitas jauh dari harapan, dan kampung Carang Pulang belum merasakan dampak pembangunan yang signifikan. Kondisi Carang Pulang berbeda dengan kampung-kampung lain di berbagai desa lingkar kampus yang cenderung terpengaruh dalam aspek pembangunan oleh keberadaan IPB. Permasalahan ini tentu tidak sesuai dengan kesepakatan internasional, yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) ke 10 tentang reduced inequalities.
Keberadaan IPB University sebagai institusi yang sudah seharusnya membawa perubahan dan dampak positif bagi kawasan sekitarnya, nyatanya tidak seperti apa yang diharapkan. IPB memang telah memberikan prioritas dan tanggung jawabnya kepada kampung-kampung dan desa-desa yang ada disekitar atau Desa Lingkar Kampus, namun tidak dengan Carang Pulang. Kampung yang terletak di Desa Cikarawang ini seolah dianaktirikan oleh IPB dengan perlakuan dan perhatian yang berbeda dengan dusun dan desa lainnya, sehingga hal tersebut menimbulkan kecemburuan sosial pada warga Carang Pulang. Carang Pulang seolah-olah menjadi kampung yang sarat akan keluhan-keluhan yang tanpa disadari penyebabnya adalah yang berada di dekatnya. Terdapat berbagai permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat di sana, seperti jarangnya mendapatkan program-program dari pihak kampus maupun mahasiswa. Padahal, warga setempat mengharapkan bantuan melalui program-program dari IPB yang untuk pengembangan desa mereka.
Menurut pengakuan warga Carang Pulang, bantuan atau program dari IPB masih lebih sering menyasar kampung dan desa yang lebih jauh. Padahal, kenyataan yang tidak disadari bahwa kampung tetangga yang sangat dekat dengan area kampus tidak mendapatkan perubahan pembangunan positif yang seharusnya didapatkan sebagai bentuk dampak positifnya dekat dengan suatu institusi.
Gangguan monyet di Carang Pulang juga menjadi permasalahan serius bagi warga setempat. Monyet-monyet liar yang berkeliaran di sekitar desa telah merusak tanaman pertanian dan kebun-kebun warga, menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Akan tetapi, sebuah fakta menggelitik yang terjadi di lapangan sungguh menyedihkan. Monyet-monyet tersebut adalah kiriman hangat dari kampus IPB kepada warga desa carang pulang. Selain merusak tanaman, monyet-monyet ini juga sering mencuri makanan dari rumah-rumah penduduk, menyebabkan ketidaknyamanan warga penduduk dalam beraktivitas. Monyet-monyet tersebut terlepas begitu saja yang diduga karena penangkaran yang jebol. Ini menandakan bahwa tidak adanya perhatian terhadap penangkaran yang jebol sampai merugikan banyak orang. Upaya pencegahan telah dilakukan dengan memasang pagar dan menanam tanaman berduri, tetapi gangguan masih terjadi. Masyarakat Carang Pulang perlu bekerja sama dengan pihak berwenang untuk mencari solusi yang berkelanjutan, seperti pemindahan monyet ke habitat alami mereka atau pendekatan lain yang ramah lingkungan dan manusia.
Berbagai keluhan warga Carang Pulang dapat menjadi bahan perbincangan dan pertimbangan lebih lanjut. Mereka merasa ada ketimpangan perlakuan oleh IPB terhadap kampung-kampung di Berbagai Desa Lingkar Kampus. Ketimpangan perlakuan tersebut tentu tidak sesuai dengan SDGs ke 10 tentang reduced inequalities.
Dari Carang Pulang kita bisa tahu bahwa kedekatan lokasi dengan institusi pendidikan tidak menjamin adanya kemajuan pembangunan yang pesat. Carang Pulang yang seharusnya mendapat perubahan pembangunan positif justru hanya bisa menelan pil pahit. Bak peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, selain kurangnya perhatian, Carang Pulang juga mendapat musibah berupa gangguan monyet yang sangat merugikan.
Sebagai institusi pendidikan yang menjunjung nilai tri dharma perguruan tinggi, sudah sepatutnya IPB menelisik kembali akan makna dan tujuan dari pengabdian kepada masyarakat. Sudah 60 tahun sejak berdiri seharusnya menjadi waktu yang cukup untuk bisa memberi dampak pembangunan signifikan yang merata kepada semua pihak tanpa menimbulkan kesenjangan yang nyata. Pendekatan secara langsung dengan mendengarkan dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengutarakan keluhan dan pendapat serta adanya keterlibatan semua pihak untuk memberikan solusi mungkin bisa menjadi pilihan paling tepat yang dapat IPB lakukan. Tak hanya itu, aksi konkret berupa pemberian bantuan atau program ke Carang Pulang tentu merupakan hal utama yang harus dilakukan. Namun, jika berbagai hal tersebut sudah ada, api semangat itu harus selalu dihidupkan agar terwujud program yang sustain dan sesuai dengan SDGs ke sepuluh, reduced inequalities.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H