Lihat ke Halaman Asli

Khadeejannisa

Karyawan swasta

Urgensi Prenuptial Agreement/Perjanjian Pranikah

Diperbarui: 14 Agustus 2022   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi: pixabay.com

Perjanjian pranikah awalnya terdengar tabu di negara kita. Namun seiring perkembangan jaman menjadi topik bahasan yang menarik. Pembuatan perjanjian pranikah dapat dilaksanakan pada waktu pernikahan atau sebelum pernikahan dan perjanjian tersebut mulai berlaku saat perkawinan dilangsungkan.

Perjanjian pranikah sebenarnya telah diatur dalam peraturan hukum negara dan agama. Sebagaimana diatur dalam Hukum Kompilasi Islam Kemenag Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Bina KUA dan keluarga Sakinah tahun 2018 Pasal 45 s/d 52 yang diantaranya mengandung poin-poin:

  • Perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak maupun perjanjian lain sesuai syariat
  • Taklik talak biasa diucapkan setelah akad nikah dihadapan pejabat KUA dan para saksi. Taklik talak bukanlah kewajiban namun sekali diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali
  • Perjanjian tertulis yang disahkan pegawai catat nikah mengenai kedudukan harta dalam pernikahan
  • Perjanjian mengenai pisah harta tidak menghilangkan kewajiban suami dalam menafkahi
  • Perjanjian percampuran harta pribadi meliputi harta yang dibawa ke pernikahan maupun yang diperoleh selama masa pernikahan
  • Pemberlakuan perjanjian perkawinan yang mengikat beserta pencabutan sesuai kesepakatan bersama
  • Pelanggaran perjanjian sebagai alasan gugatan perceraian
  • Perjanjian perkawinan juga berlaku bagi istri kedua, ketiga dan keempat

Dalam KUHPerdata Pasal 119 disebutkan bahwa perkawinan pada hakikatnya menyebabkan percampuran dan persatuan harta pasangan menikah, kecuali apabila pasangan menikah tersebut membuat sebuah Perjanjian Perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta.

Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 35 Undang-Undang No. 1/1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") bahwa dengan pembuatan Perjanjian Perkawinan calon suami istri dapat menyimpang dari peraturan undang-undang mengenai ketentuan harta bersama asalkan ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan tata susila atau tata tertib umum.

Berdasarkan hukum di Indonesia, perjanjian perkawinan diperbolehkan untuk dibuat sejak diberlakukannya KUH Perdata pada tanggal 1 Mei 1848. Pengaturan perjanjian perkawinan dijelaskan pada Bab VII pasal 139 s/d 154. Perjanjian kawin menurut KUH Perdata Pasal 139 merupakan persetujuan antara calon suami dan istri untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka

Perihal perjanjian perkawinan ini kemudian dipertegas kembali dalam UU Perkawinan No 1 tahun 1974. Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, perjanjian pernikahan ada di dalam Bab V tepatnya pasal 29. 

Salah satu azas yang terkandung dalam UU ini terkait dengan perjanjian perkawinan adalah mengatur hak dan kedudukan suami istri yang seimbang. Akibat daripada perkembangan zaman yang semakin pesat serta adanya tuntutan persamaan derajat antara laki-laki dengan wanita,

Undang-undangPerkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 29 diantaranya menjelaskan:

  • Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, sesuai persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
  • Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
  • Perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali ada persetujuan bersama untuk merubah dan tidak merugikan pihak ketiga

Perjanjian perkawinan dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor Tahun 1974 secara implisit dapat ditafsirkan bahwa perjanjian perkawinan tidak terbatas hanya mengatur mengenai harta perkawinan saja, juga hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan norma agama, ketertiban umum dan kesusilaan.

Perihal harta suami istri telah diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan yakni meliputi:

  • Harta bersama atau harta benda yang diperoleh selama perkawinan
  • Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (dalam sebuah perjanjian).
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline