Lihat ke Halaman Asli

Teologi Cemburu

Diperbarui: 4 Maret 2016   12:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Kitab Sahih Al-Bukhari diceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berada di tempat istrinya, Aisyah. Salah satu dari istri Nabi yang lain, yang bernama Shafiyyah mengirim piring yang berisi makanan, maka Aisyah yang sedang berada di rumahnya memukul tangan pelayan itu, sehingga jatuhlah piring tersebut dan pecah.

Kemudian Nabi memunguti pecahan piring dan makanan tersebut, sambil mengatakan: “Ibu kalian cemburu.” Lalu Beliau menahan pelayan tersebut sampai beliau menggantinya dengan piring milik Aisyah. Lalu Beliau memberikan piring yang utuh kepada Shafiyyah, dan menahan piring yang sudah pecah di rumah Aisyah.

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa kecemburuan Aisyah disebabkan karena beliau tidak pernah melihat makanan, senikmat makanan buatan Shofiyyah.(HR. Abu Daud)

Dalam KBBI, cemburu adalah kurang percaya; curiga (karena iri hati). Kata al-ghirah (cemburu) adalah pecahan dari kata taghayyur al-qalb (berubahnya hati/tidak suka) dan haijaan al-ghadhab (berkobarnya kemarahan), karena adanya persekutuan (persaingan) dalam hal-hal yang dikhususkan. Dan yang paling dahsyat adalah cemburu yang terjadi antara suami dan istri.

Dari hadits tersebut, kita dapat menyadari bahwa cemburu merupakan sifat yang Allah tumbuhkan dalam diri manusia, bahkan dalam diri Ummi al-Mu' miinin Radhiyallahu 'anha.

Oleh karena itu, tidaklah heran jika pada zaman sekarang, kita sering kali menemukan perempuan yang mudah cemburu. Hal ini membuktikan bahwa cemburu merupakan salah satu tabi'at perempuan yang tidak bisa dihilangkan. Sampai yaumul qiyamahpun perempuan tidak akan bisa lepas dari sifat cemburu ini.

Namun perlu dipahami bahwa cemburu terbagi menjadi dua macam, cemburu yang terpuji dan cemburu tercela. Cemburu terpuji ialah cemburu yang tidak melewati batas syari'at, sedangkan cemburu tercela ialah cemburu yang melewati batas syari'at (HR. Ahmad).Cemburu ini menjadi tercela karena mendorong pelakunya untuk menuduh orang lain, terutama tuduhan istri pada suaminya.

Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12). Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda, “Jauhi oleh kalian prasangka karena sesungguhnya prasangka itu adalah sedusta-dusta pembicaraan.” (HR.Bukhari Muslim).

Oleh karena itu, seyogyanya kita sebagai makhluk Allah yang beriman menjauhkan diri dari segala prasangka. Dan sesungguhnya cara terbaiknya ialah dengan selalu berhusnudzan (berprasangka baik).




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline