Lihat ke Halaman Asli

SUDAHLAH! TIDAK PERLU REPOT

Diperbarui: 24 Juni 2015   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

“Apapun yang terjadi, jangan sampai kehilangan cinta pada negeri ini”. pesan kakeknya salman ketika detik-detik menjelang ajal. (film “tanah surga, katanya”)

****

“Sebenarnya, kita tidak perlu repot untuk memikirkan nasib hidup ini. Karena segala hal yang berkaitan dengan hidup kita, sudah ada yang ngurus” berujar Samud kepada temannya sesama penganggur disebuah warung kopi. Disela kesibukannya sebagai kuli angkut di pasar.

“Kok malah ngelimpahin nasib sendiri ke orang lain?”

“bukannya nasib suatu kaum tidak akan dirubah, sebelum ia sendiri yang merubahnya?”
“Ya itu artinya kita yang repot, istimewanya di negeri ini, kita tidak perlu lagi repot-repot”. Timpalnya berlagak.

“Lha, maksudmu gimana? Wong gimana kita acuhkan nasib hidup kita sendiri? Lantas mau makan pake apa?”

Terkadang, perbincangan seperti ini tidak pernah ada putusnya. Tentang nasib, siapa yang ngatur? Tuhan, manusia atau siapa? Kalangan kelas bawah selalu saja disibukkan oleh keluhan-keluhan tentang nasib hidupnya sehari-hari. Atau bagaimana ia dapat survival sampai kesekian harinya. Mungkin, baginya sekedar untuk menunda maut saja. Sarapan pagi ini, pake apa? Atau untuk makan sehari-hari kadang harus ia relakan barang sehari jeda untuk tidak makan. Meskipun dalam bidang kemedisan dianjurkan untuk bagaimana mengatur pola hidup sehat. Hidup disiplin menjaga kesehatan. Normalnya makan sehari itu ya tiga kali sehari secara teratur. Sarapan pagi, makan siang dan makan malam, itu aturannya.

Kalau jadwal makan tidak teratur, akan beresiko menyebabkan terjadinya semacam gangguan kesehatan. Terlebih bagi perut sebagai mesin pencerna tubuh akan terkena sakit mag karena tidak ada yang dikunyah. Akhirnya kunyah dirinya sendiri. Atau tubuh akan kekurangan gizi.Namun bagi si udin teman si Samud, tidak makan sehari itu sudah biasa. Malah sudah teratur dan sudah sangat terbiasa. Lambungnya sudah sangat bersahabat.

Belum lagi kebutuhan hidup yang lain-lainnya. Seperti penghargaan sebagai manusia yang merdeka. Kebutuhan akan rasa aman, bahkan sebagai warga negara yang kecil tertindas karena sistem sosial yang sudah tidak menjamin rasa aman. Masyarakat sangat gampang terkena provokasi. Padahal sekedar isu, malah menelan korban. Dan siapa lagi yang mengatur tentang itu semua selain dari kalangan berjuis-atas, yang punya kekuasaan dan fasilitas memadai.

“bu, tambah kopinya. Rekap saja sudah berapa”.

“Hanya pengumpul botol-botol plastik air mineral yang tercecer dimana-mana. Bukan saja plastik, namun apa saja barang bekas yang dapat dijual. Bila perlu, kalau ada warga yang naruh barangnya sembarangan, akan dipulung juga. “saya ini kapan akan kaya kalau pekerjaan begini menjadi pemulung” keluh seorang lagi menghembuskan rokok kreteknya. Meski mengambil hak milik oran g lain tergolong sebagai tindakan mencuri. Ini hanyalah soal keberuntungan. Barangkali tidak akan diteriakin maling, karena barang berharga apapun kalau ditaruh ditempat sembarang, sukar untuk dapat mengajukan klaim atasnya. Malah semua orang berhasrat dengan keberuntungan itu.

“lha, kalau tidak begitu, kapan saya jadi kaya? Lagian hanya orang kaya yang tidak tahu menaruh sesuatu pada tempatnya. Biasanya, kalau sampah itu dibuang sembarangan. Yang namanya sembarang, tentu bukan pada tempatnya. Jadi, salah sendiri menaruh barang bagusnya disembarang tempat”.

“Itung-itung sebagai rezeki tak terdugalah”. Maklum temannya yang lain.

Perbincangan tentang nasib kaum-kaum tertindas, seringkali menyesakkan. Ujung-ujungnya meresahkan apalagi bagi si pemilik warung. Namun, mau tidak mau inilah ladang basah sekaligus ladang kering, karena langganannya tidak jarang mengharapkannya lebih banyak bersabar untuk menunggu bayaran hutang. Kemarin, kemarinnya lagi dan kemungkinannya akan ditambah lagi.

..."itu kan kita sudah ada perwakilan di DPR. Ngapain kita urus hidup kita lagi, toh sudah ada yang ambil andil mengurus. Mau jadi kaya, sudah ada wakil di DPR. Mau perjuangkan aspirasi, sudah ada wakil di DPR. Mau jadi apa saja, udahlah, nggak usah repot-repot, sudah ada yang ngurusi". si samud berujar lagi kepada rekan-rekannya sesama penganggur terdidik.

Ungkapan-ungkapan yang agak putus asa seperti ini juga terkadang disebut dengan istilah “pesimisme progressive”. Ketika optimis tidak bisa memberikan harapan apa-apa. Maka akan berujar seperti “biarlah”. Nanti juga akan mikir sendiri. Kalau sudah tidak mau diperingati, biarlah meneruskan perbuatannya sendiri. Anjing menggonggong, kafilah berlalu.

"itu sih namanya, mereka melanggar hak asasi manusia? setidaknya kita sebagai pengangguran?
"tahu apa mereka tentang HAM? toh, sudah ada aturannya. kalau mau bersuara yang lantang-lantang sudah ada yang mewakilinya. Jadi kita tidak perlu repot-repot. Malah bagus. kita nggak perlu repot-repot kuliah mencari secarik kertas ijazah. Kita jadi bisa berhemat waktu dan biaya. Cukuplah mereka-mereka itu yang berijazah sebagai wakil kita. Tugas kita hanyalah menunggu hasil perwakilan mereka. Dan kita banyak-banyak berharap dan berdo’a, semoga saja mereka yang menjadi wakil kita, mengerti tentang kita”.

Biasanya memang, dalam musim kampanye pemilu. Orang berbondong-bondong melamar hati rakyat. Katanya sih sebagai wakilnya nanti untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil. Manusia terkadang berlagak aneh dan konyol, amanah kok dicari-cari. Tidak sedikit yang malah membelinya dengan harga yang bersaing. Karena banyak saingan. Lihat saja Umar bin khattab sahabat nabi dulu, ketika ditunjuk sebagai imam, malah mengatakan: “ kalau engkau sayang padaku, janganlah engkau memberiku amanah yang berat itu”. Saking beratnya yang namanya amanah, dulu Gunung yang gagah perkasa saja tidak sanggup untuk mengemban yang namanya amanah. Namun begitulah manusia, bukannya menerima, malah amanah dicari-cari.

"Kita gak perlu repot! biarlah mereka yang repot" kata temannya yang lain.

“apakah aturan bisa menjamin HAM?

"jadi maksud kamu, kita tidak perlu repot untuk sekedar bahagia?"

"bener tuh, karena sudah ada yang mewakilinya".

"lha, sampai urusan perut juga, kita gak perlu repot?"

“Seharusnya ente juga nggak perlu repot-repot dong kemarin, kuliah sampai lima tahun. Mengeluarkan berjuta-juta duit. Yang jelas, ente nggak perlu repot menjadi sarjana, karena sudah ada yang mewakili”.

Si Samun tersipu sangat malu...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline