Lihat ke Halaman Asli

Kezia Severina

Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Bushido, Cara Hidup Orang Jepang yang Terinsipirasi dari Para Samurai

Diperbarui: 21 Oktober 2022   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Asal-usul dari Bushido tidak dapat dipastikan sebab Bushido secara spontan dikembangkan selama ratusan tahun sebagai cara hidup untuk samurai. Namun, secara gamblang dapat dikatakan bahwa asalnya hampir bertepatan dengan Era Kamakura (abad ke-12) yang merupakan awal dari sistem feodal yang jelas merupakan landasan ilmu pedang Jepang. 

Penjelasan lebih lanjut seperti asal, sumber, dan latar belakang Bushido tertulis pada mahakarya yang ditulis oleh Inazo Nitobe, seorang pendidik Kristen dari akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. 

Dalam buku Bushido: The Soul of Japan karya Inazo Nitobe, Bushido digambarkan sebagai kode prinsip moral yang harus dipatuhi atau diinstruksikan oleh para ksatria (samurai). 

Buku ini merupakan buku klasik mengenai Bushido yang diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1990 dan merupakan buku yang sangat direferensikan di dunia internasional. 

Bushido memiliki dasar dalam agama Buddha, Konghucu, dan Shinto seperti dalam seni bela diri judo dan karate. Beberapa pakar berpendapat bahawa pengaruh Bushido pada masyarakat telah berkurang, tetapi yang lain mengatakan bahwa semangat Bushido tetap ada di pikiran dan hati orang Jepang.

Tujuh kebajikan utama dalam Bushido adalah kejujuran (gi), keberanian (yu), kebajikan (jin), kesopanan (rei), kejujuran (sei), kehormatan (meiyo), dan kesetiaan (chugi). Kebajikan pertama, kejujuran (gi) dianggap sebagai yang paling mendasar dari samurai. Ini adalah cara berpikir, memutuskan, dan berperilaku sesuai dengan akal, tanpa ragu-ragu. 

Kebajikan kedua, keberanian (yu) adalah semangat keberanian dan sikap (bagaimana seseorang berdiri, berjalan, dan berprilaku), didefinisikan sebagai melakukan apa yang benar dalam menghadapi bahaya. 

Konsep bahwa tindakan benar berbicara lebih keras daripada kata-kata sangat dihargai dalam Bushido.  Kebajikan ketiga, kebajikan (jin), mencakup konsep cinta, simpati, dan belas kasihan terhadap orang lain dan diakui sebagai yang tertinggi dari semua atribut jiwa manusia. Kebajikan keempat, kesopanan (rei) dianggap sebagai rasa hormat terhadap perasaan orang lain.

Dalam bukunya, Nitobe berpendapat bahwa kesopanan (rei) "suffers long, and is kind; envieth not, vaunteth not itself, is not puffed up; does not behave itself unseemly; seeks not her own; is not easily provoked; takes no account of evil." Kebajikan kelima, kejujuran (sei) merupakan jaminan kebenaran dalam ungkapan bushi no ichi-gon yang artinya "kata orang samurai." Kebijakan keenam, kehormatan (meiyo), diakui sebagai yang utama dalam kebaikan. 

Nitobe menulis, "The sense of meiyo could not fail to characterize the samurai, born and bred to value the duties and privileges of their profession." Nitobe juga mencoba menjelaskan arti hara-kiri dan seppuku; keduanya merupakan jenis bunuh diri klasik bagi samurai dengan menuliskan "Death involving a question of meiyo was accepted in Bushido as a key to the solution of many complex problems." 

Kebajikan ketujuh, kesetiaan (chu-gi), telah lama dihargai oleh orang Jepang terhadap kebutuhan dan kepentingan kelompok, dengan menempatkan kebutuhan kelompok di atas kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri. Dalam Bushido, kepentingan keluarga dan kepentingan keluarga tidak dapat dipisahkan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline