Musuh santri saat ini bukan lagi koloni, tetapi justru terdapat dalam diri sendiri yaitu kemalasan yang kerap bersarang di hati sehingga enggan belajar dan mengaji. Ya, Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda bahwa jihad besar adalah melawan diri sendiri. Saat itu, ia dan para sahabatnya baru menyelesaikan sebuah peperangan. Oleh karena itu, angkat senjata untuk berperang tentu bukan lagi masanya bagi santri di masa sekarang. Sebagaimana yang telah diketahui, Indonesia sudah merdeka, tidak lagi mengalami kolonialisme seperti sebelum dan beberapa tahun lalu setelah kemerdekan. Karenanya, bentuk patriotisme terhadap negara di zaman sekarang mestinya berbeda dengan zaman dahulu.
Santri saat ini hanya tinggal fokus meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki karakter kepribadiannya. Harus mencurahkan sepenuh tenaganya untuk mengaji, belajar, dan menaati segala perintah kiainya. Sebab, tidak ada hal lain yang patut diperjuangkan oleh mereka di masa sekarang selain hal-hal tersebut sebagai bekal masa depan.
Senjata santri saat ini bukan lagi senapan untuk berperang melawan kolonialisme, bukan pula bambu runcing seperti yang biasa diceritakan oleh orang tua kita, melainkan pena untuk mencatat segala pengetahuan yang diterimanya. Tidak hanya itu, pena juga menjadi alat penyambung untuk membagikan pengetahuannya.
Santri di era saat ini juga mestinya tidak hanya mencukupkan diri untuk mendalami ilmu agama. Para santri juga harus mulai menambah bidang keilmuan lainnya guna menebar kemanfaatan dan kemaslahatan di berbagai sektor. Hal ini mulai diterapkan di berbagai pesantren dengan kemunculan sekolah-sekolah kejuruan.
Mereka mendapatkan pengetahuan agama di pondok dan pengetahuan kejuruan di sekolah. Maka tak aneh jika bermunculan santri yang tidak saja ahli di bidang keagamaan, namun juga ahli dalam bidang pengetahuan umum lainnya. Cita-cita ini sebetulnya sudah sejak lama diidam-idamkan oleh KH Abdul Wahid Hasyim. Ia tidak ingin hanya memfokuskan kepada ilmu pengetahuan agama saja, tetapi umum juga sehingga keduanya saling berkaitan.
Dalam suatu artikel yang dibuat oleh putra dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari, ia pernah menyebut bahwa mencari sarjana di pesantren seperti mencari tukang es di malam hari. Ungkapan ini muncul karena saking langkanya sarjana dari kalangan pesantren. Putra-putranya pun muncul dengan keahliannya masing-masing selain dalam bidang keagamaannya, seperti Gus Dur sebagai tokoh politik cum budayawan, Gus Sholah sebagai arsitek, Gus Umar sebagai dokter, Gus Iim sebagai ahli ekonomi dan budayawan.
Dengan pengetahuan yang luas, kontribusi terhadap kemajuan dan kemakmuran negeri dapat dilakukan secara lebih. Peran santri pun meluas tidak hanya dalam bidang keagamaan dan politik yang telah dilakukan sejak dahulu.
Dengan pengetahuan kearsitekan, santri mampu menaruh kontribusinya dalam pembangunan fisik negeri. Dengan pengetahuan kebudayaannya, santri dapat menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk melestarikan tradisi yang sudah berlangsung sejak dulu serta menginovasikannya, dan terus mengkreasikannya sehingga akan terus hidup di tengah globalisasi yang mengikis lokalitas.
Indonesia Emas 2045 dan Era Digital saat ini, santri adalah aset penting bangsa masa depan. Terlebih pada 2045 nanti, negara kita memiliki cita-cita Indonesia emas. Maka, hal tersebut harus disambut baik oleh pesantren atau lembaga pendidikan yang menjadi tempat santri menggantungkan masa depannya.
Era saat ini semua serba digital. Santri pun harus dapat mengisi era tersebut, tidak hanya sebagai konsumen, tetapi harus tampil juga sebagai produsen. Tentu saja hasilnya ditujukan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Pesantren virtual pun semakin banyak. Hal ini sebagai bentuk kontribusi santri terhadap bangsa guna menjaga stabilitas bangsa mengingat belakangan ini media sosial banyak diisi dengan kelompok-kelompok radikal.
Masuknya santri di dunia maya ini sangat penting, menurut data We Are Social (2019), internet sudah aktif berselancar di media sosial. Tidak hanya itu, patriotisme santri juga sudah mulai masuk ke wilayah yang cukup jauh dari dunia pesantren, seperti robotik. Hal ini sudah mulai digunakan oleh para santri dalam beberapa hal dalam keagamaan, seperti penentuan awal bulan Qamariyah. Para santri menggunakan teleskop robotik yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan bulan. Santri tidak perlu lagi memicingkan mata untuk melihat hilal, hanya dengan duduk melihat layar laptop. Sebab, hasil tangkapan mata teleskop sudah dapat disambungkan dengan laptop, sehingga dalam pengamatan bulan tidak perlu repot untuk mencari posisi bulannya.