Lihat ke Halaman Asli

Keysa Fahradine Audyzza

Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Program Studi Perbankan Syariah

Problematika Kenaikan BBM

Diperbarui: 18 September 2022   23:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penggunaan BBM bersubsidi oleh masyarakat kian meningkat. Semakin tinggi konsumsi BBM bersubsidi, akan mengurangi besaran anggaran negara. Harga BBM kini telah mengalami peningkatan sejak 2021 karena pemulihan ekonomi post COVID-19 yang menyebabkan rebound permintaan energi di seluruh dunia, sementara pasokan tetap terbatas. 

Kondisi ini semakin parah dengan adanya invasi Rusia ke Ukraina yang semakin meningkatkan ketidakpastian pasokan, sehingga mendorong harga minyak mentah dan gas alam naik ke level tertinggi secara historis.

Pada Januari 2021, harga minyak mentah masih berada pada kisaran $53.60/bbl dan pada Juni 2022 melunjak hingga $116.8/bbl. Kenaikan harga minyak mentah tersebut semakin membebani kondisi keuangan atau kondisi fiskal di Indonesia, mengingat komoditas BBM di Indonesia, terutama solar dan pertalite, masih disubsidi oleh pemerintah.

Pemerintah melaporkan bahwa beban subsidi BBM mencapai angka Rp 502.4 triliun, angka yang tentu tidak kecil nilainya. Dalam rangka mengurangi tekanan fiskal tersebut, di awal September 2022, pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM.

Harga pertalite naik yang awalnya Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter (naik sekitar 30.7%), harga solar naik dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter (naik sekitar 32%) dan begitu pula harga pertamax naik dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter. Kenaikan secara keseluruhan untuk ketiga jenis BBM tersebut sekitar 26%.

Dari sisi ekonomi, kenaikan harga BBM tentu akan mendorong kenaikan biaya produksi, mendorong inflasi  yang pada gilirannya akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, penurunan upah riil dan konsumsi rumah tangga. Padahal kita tau konsumsi rumah tangga memiliki kontribusi yang tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (sekitar 50%) dan merupakan alternatif utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sektor-sektor yang banyak menggunakan BBM pasti akan mengalami kontraksi yang paling tinggi terutama di sektor angkutan darat, angkutan laut, angkutan kereta api, jasa kurir dan pengiriman. Untuk mempertahankan sektor-sektor tersebut, tentu saja merek akan menaikkan harga dan ini sudah terlihat dari kenaikan biaya ongkos angkutan umum.

Kenaikan harga pada sektor transportasi akan mempengaruhi sektor-sektor perekonomian lainnya. Dan kita pun tau naiknya harga-harga barang yang terjadi secara serentak tersebut akan mendorong kenaikan inflasi di Indonesia.

Dampak negatif akan lebih dahsyat lagi jika efek psikologis juga diperhitungkan. Dampak psikologis yang terjadi di masyarakat apabila mereka memiliki ekspetasi yang sama bahwa adanya kenaikan BBM ini akan diikuti oleh kenaikan sector-sektor lainnya. 

Dampak lainnya bisa juga terjadi penurunan daya beli dalam jangka pendek karena income effect (dampak pendapatan) yang secara riil mengalami penurunan, meningkatkan angka pengangguran yang akan berujung pada peningkatan kemiskinan.

Mengapa inflasi karena dampak psikologis bisa terjadi? Pastinya karena kenaikan harga BBM ini akan menimbulkan efek psikologis yang sangat besar bagi masyarakat, di mana produsen akan menaikkan harga melebihi dari kenaikan biaya produksi atau distribusi yang mereka keluarkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline