Lihat ke Halaman Asli

kevin prayoga

Aku adalah dia yang tak kau kenal.

Mending Jualan Es Teh daripada Jualan Agama

Diperbarui: 4 Desember 2024   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah video ceramah yang menampilkan Gus Miftah baru-baru ini menjadi viral di jagat maya. Dalam video tersebut, ia menyebut seorang penjual es teh dengan kata "goblok". Terdegar agak kasar sehingga hal tersebut memicu reaksi keras dari netizen. 

Di tengah ramainya diskusi, muncul sebuah respons sederhana namun tajam dari netizen melalui template story di Instagram yang berbunyi: "Mending jualan es teh daripada jualan agama." 

Bagi penulis ini bukan sekadar kalimat kritik spontan, tetapi mencerminkan kekecewaan yang mendalam terhadap fenomena sosial yang sering terlihat: bagaimana profesi sederhana yang jujur kerap diremehkan, sementara agama---yang seharusnya menjadi pengayom---kadang dijadikan komoditas atau alat manipulasi. Sehingga tergerak pula hati penulis untuk sedikit berbagi pandangan penulis pribadi.

Menjual teh merupakan lambang pekerjaan yang sederhana dan jujur. Penjual teh, dan pekerja kecil lainnya, adalah bagian dari tulang punggung masyarakat yang menopang kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam transaksinya, tidak ada kepalsuan atau manipulasi: segelas teh diberikan, harga dibayarkan. Profesi ini jauh dari glamor, tetapi penuh dengan perjuangan. 

Di tengah badai ekonomi yang menghantam banyak orang, penjual teh adalah bukti nyata bagaimana masyarakat kecil terus bertahan, sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi ekosistem sosial. 

Namun, apa yang terjadi ketika pekerjaan seperti ini diremehkan? Ucapan yang menggambarkan penjual teh dengan kata-kata kasar seperti goblok bukan hanya sekadar penghinaan terhadap individu, tetapi juga cerminan dari bias kelas yang menempatkan profesi tertentu di strata terendah. 

Ironisnya, ini sering datang dari narasi agama yang seharusnya menempatkan kerja keras sebagai sesuatu yang mulia. 

Di sisi lain, "jualan agama" mengacu pada penggunaan agama sebagai komoditas atau alat manipulasi. Fenomena ini tidak asing, terutama ketika agama digunakan untuk kepentingan politik, ekonomi, atau popularitas pribadi. Agama, yang seharusnya menjadi panduan moral, malah disalahgunakan untuk menciptakan hierarki baru yang sering kali melanggengkan ketidakadilan sosial.

Apa yang terjadi ketika agama dijadikan alat? Nilai-nilai luhur agama itu sendiri tergerus. Alih-alih menjadi pembebas, agama justru berubah menjadi beban bagi masyarakat kecil, yang dipaksa untuk membayar "biaya spiritual" yang tidak mereka pahami. 

Ucapan keras yang merendahkan penjual teh mengingatkan kita pada salah satu bentuk ini: bagaimana narasi agama kadang melupakan keberpihakannya kepada mereka yang berada di bawah.

Ali Syariati, salah satu pemikir Islam modern yang paling berpengaruh, menyatakan bahwa agama sejati selalu berpihak pada kaum tertindas. Dalam pandangannya, agama adalah kekuatan pembebasan yang membantu manusia melawan ketidakadilan dan eksploitasi. Konsep ini ia ungkapkan dalam istilah mustadh'afin, yang merujuk pada kaum lemah dan tertindas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline