Tahun 2024 ini kita sebagai bangsa yang besar mendapati momen kontestasi politik besar-besaran mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, anggota legislatif dari pusat sampai daerah serta Pilkada serentak di seluruh provinsi dan kabupaten se-Indonesia. Penulispun terlibat beberapa kali sebagai tim pemenangan paslon semejak pemilu sampai pilkada. ini membuat penulis banyak berinteraksi dan berdiskusi dengan para politisi baik anggota partai maupun yang bukan. Dari sekian banyak diskusi yang terjadi ada pembahasan menarik yang membuat penulis membaca kembali. Yaitu tentang "Politik Kiri". Yang mana sebagai anak desa yang terlahir dari keluarga buruh penulis merasa cocok dengan gerakan politik ini. Terlepas dari bagaimana polemik yang terjadi di masyarakat terkait istilah "kiri" ini, penulis merasa gerakan politik kiri perlu dirawat sebagai bentuk kritik dari pemerintahan yang tidak berpihak pada masyarakar kecil.
Politik kiri bisa disebut sebagai spektrum ideologi politik yang berorientasi pada keadilan sosial, kesetaraan, dan pembebasan dari penindasan, baik dalam bentuk ekonomi, sosial, maupun budaya. Secara umum, politik kiri menentang hierarki yang tidak adil dan memperjuangkan redistribusi kekayaan, kekuasaan, dan kesempatan untuk mengatasi ketimpangan yang melembaga dalam masyarakat. Istilah "kiri" pertama kali muncul dalam Revolusi Prancis (1789--1799). Di Majelis Nasional Prancis, kelompok yang duduk di sebelah kiri secara simbolis mewakili mereka yang mendukung perubahan revolusioner, republik, dan hak-hak rakyat. Sebaliknya, mereka yang duduk di sebelah kanan mendukung monarki, hierarki sosial, dan tatanan tradisional.Sejak saat itu, politik kiri diidentifikasi dengan perjuangan melawan kekuasaan otoriter dan upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih egaliter.
Dalam sejarah perjuangan melawan ketidakadilan, politik kiri sering diidentikkan dengan pembelaan terhadap kaum tertindas. Dalam konteks Islam, istilah mustadh'afin merujuk pada kelompok masyarakat yang lemah dan terpinggirkan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Hal ini membuat setiap gerakan kiri selalu di identikkan dengan paham komunis yang juga menyuarakan hal yang sama. Namun bisa kita temui juga bahwa banyak para cendekiawan muslim yang penulis dapati melakukan dan menyebarkan gerakan politik kiri ini. Sebut saja salah satunya adalah Ali Syariati.
Ali Syariati adalah seorang cendekiawan Muslim Iran yang berusaha mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan gagasan-gagasan sosialisme. Dalam pandangannya, Islam adalah agama pembebasan yang secara inheren berpihak kepada kaum tertindas. Syariati mengkritik keras sistem yang memanipulasi agama untuk melanggengkan kekuasaan oligarki dan kesenjangan sosial. Baginya, Islam yang sejati adalah Islam yang melawan penindasan, eksploitasi, dan ketidakadilan.
Konsep mustadh'afin yang diambil dari Al-Qur'an adalah pusat pemikiran Syariati. Istilah ini merujuk pada kaum lemah yang tertindas oleh para mustakbirin (kaum arogan yang menindas). Syariati menafsirkan mustadh'afin bukan hanya sebagai kaum miskin secara materi, tetapi juga mereka yang disingkirkan secara struktural oleh sistem yang tidak adil. Ia menekankan pentingnya transformasi kesadaran mustadh'afin agar mereka menyadari posisi mereka sebagai subjek perjuangan, bukan sekadar objek penderitaan. Dalam konteks ini, Syariati menempatkan mustadh'afin sebagai subjek utama revolusi. Ia memandang bahwa kesadaran kritis (consciousness) harus ditanamkan kepada mereka agar mampu melawan struktur penindasan yang sistematis. Pemikirannya sangat relevan dalam menginspirasi gerakan sosial, khususnya di dunia Islam yang seringkali dihadapkan pada rezim oligarkis dan kapitalisme global.
Menurut Syariati, agama memiliki peran revolusioner dalam membangkitkan kesadaran sosial dan politik. Ia mengkritik agama yang pasif dan fatalistik, yang hanya berfungsi sebagai alat legitimasi kekuasaan. Sebaliknya, ia menyerukan Islam yang aktif dan progresif, yang mampu memobilisasi massa untuk melawan penindasan. Dalam hal ini, Syariati sangat terinspirasi oleh tradisi revolusioner Islam awal, termasuk perjuangan Nabi Muhammad dan Ali bin Abi Thalib yang berpihak pada kaum miskin dan tertindas. Ini yang membuat kami ingin mempelajari gerakan politik ini. Sebagai muslim yang baik kami meyakini bahwa segala bentuk penindasan terhadap kaum yang lemah adalah sebuah kezaliman yang tidak boleh diteruskan.
Nabi Muhammad, melalui ajaran Islam, jelas berpihak kepada kelompok-kelompok marginal dalam masyarakat Mekah pra-Islam, seperti budak, kaum miskin, anak yatim, dan perempuan yang sering kali menjadi korban penindasan. Dalam surah-surah Makkiyah, pesan-pesan tentang keadilan sosial dan kepedulian terhadap fakir miskin sangat menonjol. Misalnya:
- Surah Al-Ma'un (107:1-3): "Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin."
Politik kiri dalam pengertian modern juga menekankan keberpihakan pada kelompok yang termarjinalkan secara ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, perjuangan Nabi Muhammad untuk menegakkan keadilan bagi kaum lemah memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip politik kiri. Meskipun istilah "politik kiri" sering kali diasosiasikan dengan gerakan sosialisme atau komunisme dari abad ke-19 dan ke-20, pemikiran kiri telah meluas dan mengalami diversifikasi. Saat ini, politik kiri mencakup berbagai gerakan dan ideologi yang fokus pada keadilan sosial, redistribusi kekayaan, perlindungan lingkungan, dan hak asasi manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H