Lihat ke Halaman Asli

Dingin Diterpa Cahaya Matahari

Diperbarui: 7 Agustus 2017   20:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

  Bintang-bintang dengan bahagia berpijar dikejauhan. Bahkan mereka sama sekali tidak memperdulikan manusia yang masih saja beradu mulut tentang bumi datar atau bulat. Mungkin beberapa bintang jatuh ke bumi untuk turun tangan membantu perdebatan itu. Ah, aku sama sekali tak peduli. Semua adalah kebohongan. Bahkan diriku sendiri. Ah, lagi-lagi aku memikirkan hal itu. Hal yang menciptakan luka. Meskipun luka itu sudah hilang tetapi bekasnya masih sangat nampak.

***

  Kukayuh sepedaku dengan kencang. Pohon-pohon yang berada disebelah kananku dengan riang ria menggoyangkan daunnya. Sama sekali mereka tak memperdulikan beberapa dahan pohon yang mulai berjatuhan karena desakan umur. Kulihat sepasang burung gereja menyanyikan nada-nada puitis diatas dahan pohon tersebut. Mereka juga seperti tidak tertarik dalam pergulatan yang ada dibumi. Sungguh sangat nikmat menjadi seperti mereka. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan dan diragukan.

  Kembali diriku fokus ke jalanan. Rumah penduduk masih jarang terlihat, hanya persawahan yang berada disisi kiri jalan dan pohon karet disisi kanan jalan. Sedari tadipun aku tidak melihat kendaraan bermesin melewati jalan menuju sekolahku ini. Kulirik jam tanganku, masih menunjukkan pukul 06:30. Artinya aku masih memiliki waktu setengah jam lagi sebelum pintu gerbang sekolah benar-benar dikunci.

  "Nia, pinjem buku Pr kamu dong." Seorang gadis menjulurkan tangannya seperti hendak meminta kearahku. Bibir merah jambunya dengan berani menunjukkan senyuman termanis yang dimilikinya.

  Kembali aku luluh dibuatnya. Malaikat yang berada dialam sana saja sudah mengerti mengapa dengan mudah aku luluh dibuatnya. Yah, dia adalah teman dekatku bahkan bisa dikatakan seorang sahabat.

  "Nih," tanganku yang pendek menjulurkan buku tersebut kearahnya. Kutatap dirinya lekat-lekat

Masih saja aku tak percaya aku memiliki sahabat. Sebelumnya aku merasa sendiri, tak ada yang peduli kepadaku. Demikian pula kedua orangtuaku, masih saja mereka berebut mencari harta kesenangan dunia. Dengan seenaknya mereka meninggalkanku di desa ini bersama kakekku. Seseorang yang juga egois, dia berkata didepan ibuku bahwa uang yang dikirimkan untukku telah kunikmati. Tapi nyatanya, hanya dirinya yang memakai seluruh hakku tersebut. Dengan bangga dirinya disetiap malam minggu keluar rumah untuk bermain judi dengan teman-temannya.

  "Bu guru datang," teriak seorang murid menghancurkan lamunan kekesalanku pada dunia tempatku berpijak ini.

***

  "Nia, kantin yuk." Ajak Nita yang merupakan sahabatku itu. Semburat sinar seperti keluar dari wajah cantiknya. Dirinya begitu baik walaupun terkadang menjengkelkan karena meminjam tugas-tugasku di pagi hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline