Lihat ke Halaman Asli

Neo Ghifary: Lost Love in The Rain

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat di pagi hari, Neo diam termenung. Sudah lama mata hatinya tidak merasakan hawa kehadiran sang wanita pujaannya, seolah-olah harapan itu sudah menjadi bubur yang sulit di ubah kembali menjadi segenggam nasi. Betapa sakitnya mengingat masa lalu, bagaikan mencabut batang mawar dari akarnya. Apakah ini sesuatu yang mustahil untuk di lakukan ? Atau mungkin ini hanyalah pelampiasan oleh hati yang telah lama terluka ? "Neo..!" tiba-tiba suara yang nyaring itu memecah lamunannya. Langsung saja Neo menghampiri Tante Felly di dapur. "Ada apa Tante..?" dengan suara lembut ia lontarkan kata-kata itu seolah ingin bersikap sopan di hadapan Tante Felly. "Pagi-pagi udah ngelamun aja kamu..! Ujar Tante Felly dengan suara yang lantang. "Badanku serasa tidak enak semenjak pulang dari kampus." jawabku sambil kubuka lemari dapur dan mengambil bungkusan kopi dan gula. "huh ! Dasar pemalas." seraya meninggalkan Neo dan pergi ke kamar mandi. Beberapa menit pun berlalu. Dengan langkah kaki yang berat, Neo berjalan ke arah pondok, tepat halaman depan rumahnya. Terduduklah Neo di pondok itu sambil menatap matahari yang semakin berani untuk menampakkan sinarnya di atas kepalanya. Dengan alunan nada alam yang tak kalah dengan musik-musik populer zaman sekarang dan secangkir kopi, dirasakannya denyut hangat di setiap anggota tubuhnya yang seolah menari-nari di atas kegelisahannya di pagi itu. "Dara, di mana engkau berada ? Mengapa engkau meninggalkan aku ? Tidakkah kau mencintaiku seperti saat kita bertemu dulu ?" ucapnya dalam hati. Tak kuasa Neo menahan kesakitan dan kepedihan ini. Air mata langit biru yang kian menjadi abu- abu mulai menetes seolah-olah ikut membasahi pipinya yang mulai menitikkan air mata. Pikirannya tak karuan, tubuhnya tak bisa digerakkan. Matanya tak bisa tertutup dan lidahnya terasa kaku, seakan-akan ingin melampiaskan kekesalannya terhadap Sang Kuasa. Tapi, kelakuan hina itu, hanya akan membuat dirinya merasa malu dan mensejajarkan dengan hati seorang pembunuh. "Tapi, apa yang harus aku lakukan ? Haruskah aku menghancurkan kenangan itu hanya karena segenggam amarah yang telah menyelimuti kalbu ?" Tanya Neo di dalam hati Dara adalah seorang gadis cantik yang telah berhasil menjinakkan mata hatinya. Dari sekian wanita yang di lihat, hanya Dara yang mampu membuatnya berdiri tegap menatap mata indahnya tanpa ada rasa jenuh yang biasa datang di saat ia melirik wanita lainnya. Tepat hari ini, sekitar satu tahun lalu Neo bertemu dengannya. Di tengah derasnya tusukan-tusukan air hujan, Neo menghampiri Dara yang sedang berteduh di bawah atap Pertokoan yang sepi tanpa ada pengelolanya. Wajah Dara terlihat sangat kebingungan, Neo lemah bila melihat wajah seseorang dengan hiasan air mata di wajahnya. Dengan bermodalkan senyum, Neo menghampiri Dara yang tampak lesu dan pucat. "Udara di sini dingin sekali. Apa kau berpikiran begitu ?" Tanya Neo terhadapnya. "Iya, rasanya seperti masuk ke dalam kulkas berukuran 100 inci saja" jawabnya. "hahaha..!" spontan Neo tertawa mendengar ucapan konyol tersebut. "kalau begitu, pakailah jaket ku. Wajahmu tampak pucat " ujar Neo. Dibuka jaket kulitnya dan segera diletakkan di atas pundak wanita cantik itu. "terima kasih, kamu baik sekali. Tapi aku juga tidak tega melihatmu berdiri dengan baju tipis begitu" ujar wanita itu dengan wajah memelas. "Tidak usah. Aku yakin kau lebih memerlukan jaket itu di bandingkan aku" jawab Neo terhadapnya. Belum pernah Neo melilhat wanita secantik ini. Tatapan matanya telah berhasil membuat Neo menjadi salah tingkah di hadapannya. Dengan keringat dingin yang bercucuran, Neo memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. "Namamu siapa ?" tanya Neo dengan wajah yang berubah menjadi merah padam. "Dara. Namamu siapa ?" tanya Dara Terhadap Neo. "Namaku Neo Ghifary. Perkenalkan." jawab Neo dengan tersenyum dan sambil menjabat tangan halus wanita itu. "Apakah kau tinggal di dekat sini ?" tanya Neo kembali. "Bukan. Rumahku di sana dan agak jauh dari daerah sini" seraya menunjuk ke arah Barat Sang Mentari. "Rumahmu di daerah sini ?" tanyanya. "Iya, tentu saja. Hanya lima menit bila berlari dari sini ke rumahku" "Kalau kau mau, mampirlah ke rumahku" ujar Neo sambil tertawa. "hmmm, mungkin lain kali saja ..!" ujarnya dengan wajah memerah. Neo terpaku sejenak saat melihat senyum di wajah cantiknya itu. Senyumannya sungguh manis, dan baru pertama kalinya dia melihat senyuman semanis itu. Perasaan gelisah Neo pun hilang, seolah-olah tertindas oleh perasaan gembira yang perlahan-perlahan mulai datang menghampirinya. Rasanya ingin memberhentikan waktu di saat itu juga. Tapi, itu mustahil. Tak lama kemudian, matahari pemalu mulai memberanikan dirinya untuk menampakkan sinarnya kembali, disertai dengan hiasan pelangi di langit biru, seakan-akan hendak menjadikan kami sebagai panutan alam. Tiba-tiba, suara lembut Dara membangunkan Neo dari lamunannya. "Hey Neo. Apa yang kau pikirkan ? Kenapa kau diam saja ?." Tanyanya sambil mencubit perutku. "Eh, ehmm. Maaf ya." jawabku dengan ucapan yang tak beraturan. "Hey Don, aku mau pulang dulu. Ini, kukembalikan jaketmu, terima kasih banyak ya." katanya dengan wajah tersenyum. "Oh, baiklah. Bila kau suka jaket itu, kau boleh memilikinya." ujar Neo "Tidak Neo. Mungkin lain kali aku bakal memiliki itu" ujarnya, seraya membalikkan tubuhnya dan mulai melangkah ke arah Barat Sang Mentari. Dengan sigap Neo meneriakkan namanya dan berkata. "Hey, Boleh ku minta nomor teleponmu ?" teriak Neo dengan wajah yang merah, seolah-olah terbakar oleh sinar Mentari. "Hmmmm, mengapa wajahmu tampak aneh Neo ? kalau kau menginginkannya akan ku berikan" jawabnya sambil menjulurkan lidah ke arah wajahku yang tampak berantakkan. "Tentu saja, belum sepuluh menit kami bicara, aku sudah mendapatkan nomor teleponnya" Pikir Neo. "Oke Ra. Terima kasih" jawab Neo sambil mengambil kartu itu dari jari-jemari tangan kanannya. Dan tak lupa pula Neo menyerahkan secarik kertas lusuh berisikan nomor teleponnya. Setelah Dara memberikan kartu namanya, dia pun segera berjalan meninggalkan Neo. Tampak dari kejauhan, Dara melambai-lambaikan tangannya ke arah Neo, dan spontan Neo membalasnya dengan wajah yang tampak ceria. Sesaat Neo melihat jam di tangannya. "Apa ? Sudah hampir maghrib ?. Harusnya aku sudah ada di rumah tepat sejam yang lalu." pikir Neo dengan wajah yang tampak panik sekali. Dengan sekujur tubuh yang basah kuyub layaknya di terpa tsunami, berlarilah Neo sekuat tenaga dengan jarak sekitar 200 meter untuk bisa sampai ke rumah. "Hosh hosh hosh" nafasnya tak beraturan layaknya mengangkat besi seberat 1 ton di siang hari. "huh, bakal kena marah lagi " pikirnya saat dia melihat Tante Felly sudah berdiri di depan pintu pagar rumah dengan raut wajah yang hendak marah. Mata Nyonya Felly terus menyorot ke arah Neo, bagaikan harimau yang ingin menerkam sang rusa. Berkali-kali Tante Felly menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan hiasan decakan lidah yang di lontarkan ke arahku. "Neo....!!! jam segini kau baru pulang. Dari mana saja kau ? " Ujar Tante Felly dengan nada yang lantang dan keras, layaknya Sang Pemberontak yang sedang berdiri di atas panggung dan membacakan pidatonya. "Maafkan aku Tante. Tadi aku hanya ingin bersantai di warung yang ada di ujung gang" jawab Neo sambil menunjukkan ke arah barat. Alasan demi alasan di lontarkan dengan harapan Tante Felly dapat mempercayai kata-katanya. "Ya sudah..! masuklah, dan lekas mandi agar kau tidak sakit" perintah Tante Felly. Berjalanlah Neo dengan langkah panjang ke arah kamar mandi rumahnya. Sementara Tante Felly menyiapkan sepiring nasi, lengkap dengan lauk pauknya yang dapat mengunggah selera, dan tak lupa pula dua cangkir teh hangat di sajikan di atas meja makan yang terbuat dari kayu jati bermotifkan bunga dan berukiran garis-garis abstrak. Sesaat di kamar mandi, di lontarkan gayung berisi air hangat tepat ke arah tubuhnya berkali-kali. Sentuhan-sentuhan air hangat, membuatnya tampak hidup kembali. Berkali-kali Neo melakukan hal yang sama, hingga akhirnya selesailah sudah ia menindas benih-benih yang telah membuatnya menggigil kedinginan. Segera Neo mengambil handuk yang telah di siapkan oleh Tante Felly, dan di gosokkan handuk itu perlahan ke seluruh bagian-bagian pada tubuhnya. Setelah berpakaian lengkap, dengan sigap Neo melangkahkan kakinya menuju meja makan "Waw, makanan ini tampak enak sekali" ujar Neo saat melihat tumpukan lauk pauk yang tampak enak untuk di masukkan ke dalam perut yang sudah menangis itu. Setelah membaca do'a, barulah Neo mulai memasukkan makanan demi makanan ke dalam perutnya. Hanya membutuhkan waktu 15 menit, Neo bisa membersihkan nasi dan lauk-pauk itu dari alasnya. "hmmm. Terima kasih Tante atas makanan yang sudah kau berikan" ujar Neo kepada Tante Felly yang kebetulan lewat di hadapanku. "Iya Neo" jawab Tante Felly singkat, namun dapat memuaskan Neo. Setelah menikmati makanan, bangkitlah Neo menuju kamar tidurnya. Segera ia baringkan badan di tempat tidur, ditemani lagu-lagu klasik yang cukup membuat perasaannya yang kian menjadi lebih tenang. Hiasan demi hiasan menjadikan dinding kamar layaknya lautan yang dihiasi mentari dan perahu-perahu para nelayan. "biiiiiiiiiiiiiiiiib biiiiiiiiiiiiiiiiiib " Dering telepon Neo tiba-tiba berbunyi, pertanda ada pesan masuk di teleponnya. Tak tahan dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Neo lekas mengambil telepon yang tepat berada di samping telinga kanannya. Terpampang jelas disitu nama pengirimnya, Dara Anggia Widya Putri. Terkejutlah ia sesaat setelah membaca isi pesan itu. "What...!! Dia mengajakku jalan-jalan malam minggu besok..?" Tanyanya dalam hati saat membaca isi pesan itu dengan mata yang tak kunjung berkedip. "hmmmmm. Alangkah baiknya bila aku menyetujui ajakannya itu" Pikir Neo. Dan langsung saja ia membalas pesan itu dengan kata "Baiklah, aku terima ajakanmu Dara" Setelah berbincang-bincang tentang kapan dan dimana ia dan Dara akan bertemu, akhirnya kesepakatan itu muncul juga. Kesepakatan itu tidak terlalu menyulitkan untuk di penuhi, Dara memintanya untuk menemuinya besok tepat jam 8 malam di Alun-alun kota. Neo sudah berjanji untuk bisa memenuhi keinginan Dara, ia takkan membiarkan Dara menunggu lama berselimutkan angin malam hanya untuk menunggu laki-laki yang di temuinya di tengah hujan kemarin, yaitu Neo. Malam minggu pun tiba dengan sigapnya. Jerawat-jerawat langit malam yang berwarna putih, mulai tumbuh. Dipadu dengan indahnya sinar bulan purnama yang siap menghiasi kencan pertamanya dengan Dara. digerakkan kakinya menuju garasi yang berada tepat di hadapan pintu depan dan segera ia menyalakan mesin mobilnya yang bermerek Porsche tipe 997 GT3 RS. Tak lama kemudian, sampailah Neo di Alun-alun kota. Tampak dari kejauhan, seorang wanita duduk termenung di bangku tepat di bawah pohon cemara yang tampak meliuk-liuk ke arah timur di sebabkan desiran angin malam yang lumayan kencang. Meskipun gelap, tapi wajah cantik itu sudah tidak asing lagi bagi Neo. Berjalanlah Neo ke arahnya dan spontan ia duduk di samping wanita cantik itu yang kebetulan kosong. " Hai Dara, maaf telah membuat mu menunggu" Ujar Neo yang merasa bersalah terhadapnya. "Jangan menyalahkan dirimu Neo. Belum 5 menit aku menunggumu di sini. Gimana kabarmu Neo ? Ujar Dara. "Baiklah kalau begitu Dara. Kabarku baik-baik saja,bil kabarmu bagaimana Ra ?" Tanya Neo kembali "Sama seperti kamu, kabarku baik-baik juga" Jawab Dara dengan wajah berhiaskan senyum manis dibibirnya. Setelah berbincang-bincang dengan menghabiskan waktu yang lumayan lama, segeralah Neo menggandeng tangan halus Dara dan menuntun Dara menuju mobilnya. Dibukakan pintu mobil sebelah kiri, dan segera Neo mempersilahkan Dara untuk masuk ke dalam mobilnya. Setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil, segera Neo menghidupkan mesin mobilnya dan mulai melajukan mobilnya perlahan-lahan menuju taman bunga yang berjarak sekitar 5 kilometer. Dengungan canda dan tawa memenuhi seisi mobil itu, seolah-olah menjadikkannya payung besar yang siap memayungi mobil itu dari tusukkan-tusukkan air hujan yang jatuh dari langit di malam itu, dan tanpa sadar, beberapa menit kemudian mereka akan merasakkan suatu peristiwa yang sejujurnya paling tidak ingin mereka rasakkan selama hidup di bumi ini. Akan tetapi, Neo dan Dara tidak menyadari akan hal yang mengerikan itu. Hujan malam yang semakin deras, seakan-akan hendak memberitahukan sesuatu hal yang akan terjadi di saat itu. Dan akhirnya, peristiwa itu pun datang tanpa ada yang bisa memberhentikannya. Tepat di hadapan mereka, sebuah mobil truk besar melaju tepat ke arah mereka. Kendaraan besar itu tampak sempoyongan, dan wajah Supirnya tampak mabuk. Detik-detik yang sangat mengerikkan dan mustahil untuk dihentikan. " Neoooooo..!! Awas di depan....!!!" Teriak Dara dengan suara yang lantang. Akan tetapi, teriakkan itu hanya berbuah pahit, dan tak ada waktu bagi Neo untuk menghindari mobil truk yang besar itu. "Blaammmm..!!" suara benturan keras itu mengalahkan suara halilintar yang di lontarkan sang awan hitam. Hanya hitungan detik saja mobil Porsche tipe 997 GT3 RS yang semula tampak indah dan mewah itu, kini menjadi seperti bahan rongsokkan. Dan tentunya, itu belum setara dengan apa yang terjadi kepada Neo dan Dara. Sejenak Neo membuka matanya. Semuanya tampak gelap dan sunyi sekali, dan hanya terdengar suara gemercik air hujan yang menyentuh aspal-aspal jalanan. Lalu, bangkitlah Neo. Dengan wajah acak-acakan dan baju yang di hiasi noda-noda merah darah, segera ia menghampiri Dara yang di saat itu telah tergeletak di samping kiri mobilnya. "Daraaaa..!! ku mohon. Ku mohon kau bertahanlah..!!" Jerit Neo dengan tetesan air mata bewarna merah yang bercucuran melewati pipinya. Dara pun segera menyambut pipi Neo, dan menyibakkan air mata Neo dengan jari-jemari tangannya. "Neo, jangan nangis. Aku tidak sanggup melihat itu. Tegarkan hatimu. Neo, apa kamu ingat saat pertama kita bertemu ? sama seperti sekarang, saat itu hujan juga turun dengan derasnya." ujar Dara dengan suara tertatih-tatih. Neo pun segera mengangkat tanga kanan Dara dan di tempelkan ke pipinya. Di elus-elusnya pipi dan rambut Dara dengan tanganbya yang penuh darah. Tak kuasa Neo menahan tangisnya. Tetesan demi tetesan jatuh dan tersapu air hujan. Hanya jeritan tangis dan pantulan air hujan yang terdengar di malam itu. " Dara, maafkan aku Dara. Tolong ma'afkan aku Dara. Jangan biarkan aku sendiri dan tanpamu aku hanya akan menjadi lelaki yang terselimuti dosa tebal" ujar Neo di hadapan Dara. " Sudahlah Neo. Tak ada yang perlu di salahkan. Kejadiaan ini bukan salahmu, kejadian ini begitu cepat terjadi. Tolong jangan salahkan dirimu Neo." balas Dara. "Hai Neo, aku ingin mengucapkan sesuatu. Apakah kau sadar Neo ? Sejujurnya aku cinta kepadamu. Aku berkata begini, karena aku takut kesempatan untuk mengatakannya akan hilang seiring berjalannya waktu." Ucap Dara dengan suara halus tertahan tangis. Terkejutlah Neo mendengar kata-kata itu. Hatinya melonjak, dan dada pun terasa sesak. Dengan tatapan halus, Neo menciumi pipi Dara. "Aku juga mencintaimu Dara, dan itu sudah kurasakkan sejak saat pertama kali kita berjumpa di bawah atap toko yang berselimutkan hujan deras. Kalau kau memang mencintaiku, aku mohon BERTAHANLAH ! Dan, kita bisa hidup bersama selamanya Dara. Aku yakin itu."  jerit Neo dengan isakkan tangis yang makin mendalam. " Aku juga berpikiran sama sepertimu. Aku juga ingin, dua cincin menghiasi jari manis kita Neo. Tapi, sepertinya itu mustahil bagi kita, karena aku tak sanggup lagi Neo. Mungkin lebih baik, kau bahagia dengan wanita lain, dan sudah saatnya kau lupakan aku. Neo, mataku lelah sekali, aku ingin tidur di pangkuan mu saat ini. Kau memang lelaki yang paling baik yang pernah aku temui. Gantikanlah aku hidup Neo." Setelah Dara mengucapkan kata-kata itu, tertidurlah ia. Dengan sekujur tubuh yang basah kuyub, menangislah Neo. Raungan tangis menjelma hingga ke atas langit. Di tengah-tengah hujan yang masih menyelimutinya, di rasakkannya denyut nadi Dara yang semakin lama semakin Lemah. Setelah itu, di peluknya Dara erat-erat dan di angkutnya tubuh Dara dengan kedua tangannya yang masih di hiasi darah merah. Selangkah demi selangkah, berjalanlah Neo menuju Rumah Sakit yang berpuluh-puluh kilo jauhnya. Tanpa ada rasa lelah, tanpa ada rasa putus asa, di gotongnya Dara menuju Rumah Sakit itu. "Bertahanlah Dara, kau harus terus hidup" Begitulah kata-kata yang terus di ucapkannya . Sudah hampir 3 jam Neo berjalan dengan menggotong Dara yang tampaknya masih tertidur pulas. Wajah Neo sudah tampak pucat, dan nafasnya sudah tidak beraturan lagi. Dan akhirnya, sampailah ia di Rumah sakit itu. Segera ia menjerit meminta pertolongan kepada suster dan dokter yang berada di hadapannya. "Dokter, tolonglah saya dokter. Wanita ini membutuhkan pertolongan kalian segera..!! jerit Neo dengan suara yang keras dan lantang. Segeralah dokter tersebut memanggil suster dan memerintahkannya untuk membawa Dara ke ruang Unit Gawat Darurat. "Harap tenang mas. Kami akan menolong wanita ini semaksimal mungkin. Sebaiknya anda duduk dulu di bangku itu." Ujar suster sambil menunjukkan bangku itu. Dengan air mata yang terus-menerus jatuh membasahi pipinya, berjalanlah Neo menuju bangku tersebut dan terduduk lesu. Wajahnya yang tampak pucat dan membiru, masih terus mencucurkan air matanya. Dengan tubuh yang bermandikan darah merah, ia terus menyesali hal-hal yang baru di rasakannya. "Mengapa semua ini harus terjadi ? Apakah ini semua cobaan yang engkau berikkan terhadap hambamu yang lalai dalam menjalani perintahmu ?" Selagi Neo menangis, terbukalah pintu ruangan tempat dimana Dara di baringkan. Dokter itu menghampiri Neo dengan wajah yang tampak ingin menyembunyikan fakta tentang apa yang terjadi. Melihat itu, berlarilah Neo dan mendesak dokter tersebut untuk menceritakkan keadaan Dara. " Dokter.! Tolong beri tahu aku, apa yang terjadi ? Tolong, jawablah Dokter.!" desak Neo. "Ma'afkan kami. Kami sudah mengerahkan pertolongan dengan semaksimal mungkin. Akan tetapi...." ujar Dokter tersebut dengan tampilan wajah yang ragu. "Tapi apa Dok..?" desak Neo dengan suara yang memekakkan telinga. "Maafkan kami Dik. Wanita itu sudah pergi ke dunia sana" ujar Dokter itu. "Apaaaaa...!!" teriak Neo Sesaat Neo terduduk lemas. Dia tidak menyangka, seorang wanita yang di cintainya telah pergi meninggalkan ia sendiri. Tak kuasa ia menahan tangis. Seisi rumah sakit menjadi saksi akan penyesalan itu. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Berkali-kali pun Neo menangis, tetap saja fakta dan kenyataan itu tidak bisa di jadikan sebagai mimpi baginya. "Pluk." tiba-tiba sesuatu menepuk pundak Neo. Ternyata Tante Felly sudah ada di belakangnya, dan spontan itu membangunkan Neo dari lamunannya tentang kejadian mengerikan yang di alaminya bersama Dara pada satu tahun yang lalu. "Apa yang kau pikirkan Neo ? wajahmu tampak lesu sekali. Apa ada sesuatu yang kau sesalkan ? tanya Tante Felly. "Tentu saja Tante. Aku menyesal terhadap diriku sendiri, aku tak bisa menjaga Dara. Aku memang bodoh." ujar Neo dengan suara tertatih. "Sudahlah Neo, hal itu sudah berlalu. Sejuta usaha yang kau lakukan, tetap saja itu sia-sia. Sebab, Dara sudah pergi ke dunia sana. Kau harus sadar akan kenyataan itu." ujan Tante Felly yang mencoba menghibur Neo. "Baiklah tante. Aku akan mencoba melupakannya" jawab Neo. "Jangan Neo. Jika itu adalah kenangan yang berarti, sebaiknya jangan kau lupakan. Sebab, orang yang telah tiada hanya bisa hidup di dalam hati kita Neo." ujar Tante Felly sambil menunjuk ke arah hati Neo. Kata-kata itu membuat Neo berpikir, bahwa di dunia ini terdapat kehidupan yang lain, yaitu dunia kenangan. Dunia yang hanya bisa hidup jika terus di pelihara dalam sebuah memori kehidupan. Meskipun menyakitkan, bila itu kenangan yang berarti, sebaiknya tidak di lupakan begitu saja. Dengan pakaian serba hitam, berlarilah Neo ke tempat peristirahatan terakhir Dara. Bunga mawar yang bewarna merah, telah disiapkannya. Raut wajahnya masih tampak sedih, di tambah hujan deras yang tampaknya terus melengkapi suka dan duka Neo. Air hujan yang dingin itu takkan bisa mengubah tekad bulatnya untuk pergi. Sesampainya di pemakaman, segera Neo berlutut di hadapan makam Dara yang telah bermandikan air hujan. Dengan tatapan sayu, di letakkan bunga mawar itu dan lalu membacakan sebuah doa untuk wanita yang dicintainya itu. " Dara, ingin rasanya aku berada di sampingmu hingga hujan ini reda. Memayungi mu dari derasnya tusukan-tusukan air hujan yang menyakitkan ini. Tapi, apa daya aku bisa melakukan itu semua, menjagamu saja aku tidak mampu Dara. Seandainya saja waktu bisa berputar kembali, tentu aku tidak ingin menemuimu waktu itu. Karena akulah yang telah membuatmu kehilangan nyawa. Maafkan aku yang tidak sempurna untukmu Dara." ujar Neo di hadapan makam Dara dengan wajah sayu. Setelah berjam-jam lamanya Neo terus mengungkapkan penyesalannya, bangkitlah ia dengan wajah tanpa daya. Berbalik dan terus berjalan ke arah barat dengan hujan yang masih setia menemaninya. Awan biru tak kunjung datang, pepohonan di sampingnya berayun-ayun kuat ke arah kiri dan kanan. Namun ia terus berjalan sampai sesuatu yang mustahil terjadi menghentikan langkahnya. Pemandangan yang sangat mustahil, SUNGGUH MUSTAHIL ! Jauh di hadapan matanya, Neo melihat sesosok wanita yang berdiri tegak dengan payung merahnya. Betapa kagetnya Neo melihat wanita itu. Digosok-gosokkan matanya, dan itu memang benar adanya. Wanita itu tampak seperti Dara, dan wajahnya tersenyum melihat Neo. Lau, berlarilah Neo sekuat tenaga untuk menghampiri wanita itu. "Daraaa......!" jerit Neo Wanita itu pun makin tersenyum, dan berlari ke balik dinding-dinding pemakaman, wanita itu tampaknya bersembunyi. Dengan sigap Neo berlari hingga ia terkejut ketika melihat ke balik dinding-dinding itu. Wanita itu menghilang sekejap mata, tanpa jejak. "Daraaa...! Aku yakin itu kau Dara. Tunjukkan dirimu, betapa aku ingin melihatmu lagi." Jerit Neo dengan nafas yang tidak beraturan. Berkali-kali Neo terus mengatakan hal yang sama. Akan tetapi yang terdengar hanyalah pantulan suaranya sendiri. Semua tampak begitu sepi, begitu sunyi, seolah-olah hanya ada ia sendiri di dalam perkarangan pemakaman itu. Lalu, Neo menatap ke atas menantang air hujan dan berkata " Wahai hujan. Tolong bantu aku menemukan jejak wanita itu. karena kau sudah seperti teman yang setia menemaniku." Sia-sia saja ia berkata seperti itu, dan nyatanya hujan hanya diam membisu. Neo terus berlutut sambil mengeluarkan air matanya, tapi tetap saja hujan hanya bisa mengeluarkan suara pantulan air yang mengenai bumi. Berkali-kali Neo menumbukkan tangannya ke tanah, perasaan yang dirasakannya adalah penyesalan. Lalu, bangkitlah ia dan terus berlari ke arah rumahnya. Agar tiada kata-kata penyesalan yang muncul kembali dari dalam hatinya. Tidak tampak jelas wajahnya karena hujan. Tapi Neo berharap, senyum wanita itu adalah senyum Dara yang ingin di perlihatkan kepada Neo, untuk terakhir kalinya. Mungkin Tuhan akan mempertemukan mereka kembali, meskipun di dunia sana. Teruslah berharap. Terkadang, sulit melupakkan cinta dari hati dan pikiran. Terlebih lagi cinta sejati yang sudah membekas di hati. Akan tetapi, hanya satu yang perlu kita ingat. Bila sesuatu itu adalah kenangan yang berarti, sebaiknya jangan di lupakkan. Selama kita masih bisa terus mengingatnya, yakinlah tiada kata penyesalan. Sebab, sesuatu yang telah tiada akan terus abadi di dalam kenangan kita dan akan terus abadi hingga nafas kita berhenti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline