Hari kedua lebaran, rasanya ada yang berbeda dari kebiasaan tahun-tahun sebelumnya. Sepi. Bukan karena saya belum terbiasa dengan suasana lebaran di "Jakarta", tapi karena memang saya kini hanya hidup berdua dengan si mami, bertiga sebenarnya, hanya masih di dalam perut. Hari pertama saya habiskan untuk bersilaturahim ke rumah orang tua saya yang juga masih satu kota, tak terlalu jauh pula. Hari kedua kita habiskan pula berkunjung ke makam Kalibata, merenung sejenak dengan perjuangan kakek saya terhadap kemerdekaan Indonesia.
Namun di tahun ini saya tidak lebaran ke mertua, karena sebenarnya juga kita ditinggal pulang kampong ke bumi Wonosari nun jauh di sana, saya sih biasa saja tapi dari raut muka si mami, aroma kangen mudiknya semerbak. Seperti ingin menjambak-jambak saya, merengek untuk ikut menyusul, walaupun kita juga tidak pernah membahas hal tersebut. Maklum, saya lebih memilih untuk direngek setiap hari daripada harus membawa jabang bayi gojlak-gajluk di jalan berjam-jam.
Mau naik kereta, pesawat? Hhhmmm. Memang sudah dasarnya tidak niat, saya selalu berkilah "enggak dapet tiketnya yang murah", sesekali pakai alasan websitenya error. Apalagi dilengkapi dengan alibi saya kereta yang guncangannya tidak menentu, dan turbulensi pesawat yang juga kadang kita tidak tahu posisinya kapan, lengkap sudah. Ini jadi tahun ke dua si mami terpaksa Lebaran hanya di "Jakarta", Tangerang sih sebenarnya.
Hari ketiga lebaran. Masih sepi. Jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi, di tengah lamunan mempersiapkan masakan rasanya raut muka si mami masih sama saja, tapi kali ini bukan lagi seperti ingin menjambak, tapi sudah meningkat seperti ingin menendang pantat saya untuk segera bergegas turun dari kasur per yang terasa aduhai dihujani udara dari embun. Saya terkesiap, "enggak usah masak, makan di luar aja yuk!".
Muehehe, saya belum tahu mau kemana. Si mami saya suruh bersiap saja baju ganti, jaga-jaga jika kelelahan. Mobil pinjaman selama lebaran saya panaskan sebentar, entah pengaruh apa mobil masa kini harus dipanaskan. Yang pasti kita siap untuk gaspol, jalan jauh pokoknya tapi enggak usah pake helm kali ini.
Bergerak ke arah timur Jawa? Sudah pasti tidak mungkin. Saya akan bentrok dengan para pemudik yang telat berangkat ke "Jawa". Satu-satunya pemikiran ya menguras ingatan wisata di Banten, iyah lagi-lagi ini. Karena sebagai penduduk bumi Banten, malu rasanya jika saya sendiri tidak mengetahui potensi wisata apa yang tersedia di Provinsi yang begitu-begitu saja ini. Bukan karena sok loyalis. Saya tersentak pada saat ditugaskan ke Gorontalo beberapa bulan yang lalu, orang lokal, anak muda Gorontalo saking sudah biasanya mereka kekurangan sense of tourism. Saat ada pengunjung seperti saya yang datang dari jauh, mereka tidak tahu harus mau mengajak kemana. Padahal mereka punya wilayah "surganya" pariwisata. Hanya belum maksimal.
Dari situ saya terasa tertabok, iyah sudah bukan tersentil lagi. Atau silakan Anda tanya sendiri, seandainya ada wisatawan atau keluarga Anda yang datang dari jauh, berlibur ke rumah Anda, dan Anda diminta untuk mengenalkan wisata atau makanan khas di daerah Anda. Apakah Anda sudah tahu dimana dan apa makanan khas daerah Anda? Jangan dijawab makanan khas daerah kita adalah Aci digulung sama makaroni pakai telor, Cilor. Sama saja Anda mengarahkan orang untuk membeli makanan khas daerah ala-ala bikinan para artis.
Skip.
Dua dekade sudah terlewat. Ingatan terakhir, saya pernah ke pantai ini di masa kanak-kanak dahulu. Pantai favorit penduduk Jawa Barat dulunya, yang kini jadi pantai pelipur lara penduduk Banten sekitarnya. Apa yang sudah tertanam sejak kecil, pantai kita ada di sisi barat pulau Jawa, ketika ditanya dimana kalau kita mau pergi ke pantai. Jawabannya, Anyer, Anyer, dan Anyer. Lha, padahal pantai di sisi barat pulau Jawa bukan hanya Anyer.
Demi memperluas wawasan tentang pariwisata Banten, saya dan si mami memutuskan untuk bergerak menjauh sedikit dari Anyer, yap Pantai Carita. Sebenarnya saya sudah pernah lebih jauh lagi, ke Pantai Tanjung Lesung, saya pernah menuliskannya. Pantainya memang sangat bersih, bagus. Hanya rasanya dari jaraknya yang lumayan wow dari pinggiran Jakarta, lagipula pantai ini sudah dikelola resort. Jadinya jika direkomendasikan ke keluarga rasanya terlalu memakan biaya. Menginap di tenda saja sudah bisa menghabiskan satu juta. Entah ini sudah sesuai dengan aturan dinas pariwisata atau tidak, yang pasti "Private Beach" ini memang hanya cocok untuk keluarga "punya". (Silaturahim ke Ujung Barat Pulau Jawa, Tanjung Lesung)
Waktu kecil saya juga tahu, pantai ini tidak putih, kalau ada pantai yang disebut "Pink Beach" karena pantainya unyu-unyu berwarna pink. Harusnya sedari dulu pantai Anyer, Carita dan sekitarnya, sudah disimbolkan pantai yang juga berwarna, julukannya bisa jadi pantai "Brown Beach", kecoklat-coklatan susu murni pangalengan. Saya berbaik sangka, siapa tahu 2 dekade, 4 kali periode kepemimpinan, pantai ini bisa jadi referensi, siapa tahu juga referensi dunia.