Lihat ke Halaman Asli

Kevin Dandy Ganesha Munthe

Petugas Direktorat Jenderal Pajak

"Show Me the Money", Kompetensi Petugas Pajak untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia

Diperbarui: 26 November 2024   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artificial Intelligence Tax (Sumber: https://www.aegissofttech.com/insights/ai-tax-time/)

Bayangkan sebuah dunia di mana membayar pajak tidak lagi menjadi sekadar kewajiban administratif, tetapi menjadi langkah revolusioner yang membangun bangsa. Di tengah tantangan global, Indonesia menghadapi realitas yang memprihatinkan: tax ratio yang hanya 11,5% pada 2017, jauh dari rata-rata OECD sebesar 34,2%. Terkait situasi ini, peran petugas pajak menjadi lebih penting dari sebelumnya. Kompetensi petugas pajak bukan hanya sekadar memahami peraturan, tetapi juga mencakup kemampuan analitis, teknologi, dan pendekatan humanis untuk mendorong kepatuhan wajib pajak. Artikel ini akan menguraikan kompetensi inti yang dibutuhkan petugas pajak di Indonesia, dengan mengambil pelajaran dari strategi sukses yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS).

Di era digital, kompetensi teknologi adalah kebutuhan utama bagi petugas pajak. Internal Revenue Service (IRS), atau DJP-nya AS, telah menunjukkan bagaimana digitalisasi mampu merevolusi sistem perpajakan. Dengan hampir 94% pengembalian pajak diajukan secara elektronik pada 2023, IRS tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga mengurangi birokrasi. Petugas pajak di Indonesia perlu menguasai penggunaan platform digital seperti DJP Online dan teknologi big data untuk menganalisis pola kepatuhan wajib pajak. Kemampuan untuk membaca data secara kritis dan menggunakan alat analitik canggih akan membantu petugas pajak mendeteksi ketidakpatuhan secara proaktif. Selain itu, pengetahuan tentang keamanan data juga menjadi kompetensi penting. Misalnya, petugas pajak dapat dilatih untuk memanfaatkan enkripsi dalam proses penyimpanan data atau bekerja sama dengan ahli keamanan digital untuk mengidentifikasi risiko potensial. Dengan meningkatnya penggunaan teknologi, petugas pajak harus mampu melindungi informasi wajib pajak dari risiko kebocoran atau penyalahgunaan. Investasi dalam pelatihan terkait teknologi dan analitik data akan memperkuat posisi DJP dalam mengelola sistem perpajakan yang modern dan terpercaya.

Komunikasi yang baik adalah kunci dalam membangun hubungan yang positif antara otoritas pajak (DJP) dan wajib pajak. IRS di AS secara aktif melibatkan masyarakat melalui program edukasi dan kampanye publik. Di Indonesia, DJP harus memiliki kemampuan untuk menjelaskan peraturan pajak dengan bahasa yang mudah dimengerti. Berbicara di depan umum, membuat materi edukasi yang menarik, dan memanfaatkan media sosial untuk menjangkau audiens yang lebih luas menjadi kompetensi yang harus dimiliki petugas pajak. Solusi praktis untuk Indonesia adalah mengadakan seminar bulanan atau sesi edukasi daring untuk wajib pajak yang dirancang dengan pendekatan interaktif, seperti sesi tanya jawab dan simulasi pengisian formulir pajak. Selain itu, petugas pajak juga perlu memahami psikologi wajib pajak. Dengan empati dan pendekatan humanis, mereka dapat mengatasi resistensi wajib pajak dan membangun kepercayaan. Program pelatihan dalam bidang komunikasi, psikologi, dan public speaking akan sangat membantu dalam meningkatkan kompetensi ini. Solusi konkret adalah petugas pajak dapat menyampaikan pesan apresiasi seperti, "Terima kasih atas pajak kita, Pertalite kini hanya Rp10.000. Jika tanpa pajak kita, harga Pertalite bisa mencapai Rp17.100" lalu pesan tersebut dicetak dalam bentuk banner dan diletakkan di SPBU-SPBU. DJP juga dapat menyampaikan pesan banner seperti "Terima kasih atas pajak kita, tarif KRL hanya Rp3.500" yang diletakkan di stasiun KRL atau di dalam gerbong KRL. Pesan-pesan sederhana ini dapat membangun pemahaman dan menyadarkan bahwa pajak memang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan komunikasi yang efektif, petugas pajak tidak hanya menjadi pelaksana regulasi tetapi juga agen perubahan yang mendorong moral kepatuhan pajak.

Penegakan hukum yang konsisten adalah salah satu elemen penting dalam mendorong kepatuhan pajak. Di AS, IRS menggunakan teknologi kecerdasan buatan atau Artifical Intelligence (AI) dan analitik big data untuk memprioritaskan audit pada kasus dengan risiko tinggi. Petugas pajak di Indonesia perlu memiliki kompetensi dalam memahami dan menerapkan teknologi serupa untuk mendukung proses penegakan hukum. Langkah konkret yang dapat diambil adalah mengembangkan algoritma lokal berbasis AI untuk mengidentifikasi pola transaksi mencurigakan atau melibatkan tim multidisiplin untuk meningkatkan akurasi audit. Namun, teknologi saja tidak cukup. Kompetensi dalam memahami hukum pajak secara mendalam dan menerapkannya dengan adil juga sangat penting. Petugas pajak harus mampu membedakan antara kesalahan yang tidak disengaja dan pelanggaran yang disengaja, serta memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk memperbaiki kesalahan mereka sebelum dikenakan sanksi. Solusi sehari-hari yang dapat dilakukan adalah menyediakan layanan konsultasi daring yang responsif untuk wajib pajak yang menghadapi masalah teknis atau hukum, sehingga mereka merasa didukung dalam menyelesaikan kewajiban mereka. Dengan pendekatan yang humanis tetapi tegas, kepercayaan publik terhadap DJP akan meningkat, dan kepatuhan sukarela akan lebih mudah dicapai.

Kolaborasi dengan komunitas dan sektor swasta adalah strategi penting dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Di AS, IRS bekerja sama dengan organisasi bisnis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mengembangkan kebijakan perpajakan yang inklusif. Petugas pajak di Indonesia harus memiliki kemampuan untuk membangun hubungan yang konstruktif dengan berbagai pemangku kepentingan. Hal ini melibatkan keterampilan negosiasi, manajemen proyek, dan pemahaman tentang kebutuhan unik setiap sektor. Solusi konkret di Indonesia adalah membentuk forum diskusi reguler yang melibatkan pelaku usaha, akademisi, dan perwakilan masyarakat untuk memberikan masukan tentang kebijakan perpajakan yang lebih relevan dan inklusif. Selain itu, kompetensi dalam merancang dan menerapkan insentif yang efektif juga menjadi kunci. Insentif yang dirancang dengan baik, seperti pengurangan tarif pajak khusus untuk "Wajib Pajak Teladan" atau penghargaan bagi perusahaan yang berkontribusi besar, dapat mendorong kepatuhan sukarela. Petugas pajak perlu memiliki kreativitas dan wawasan ekonomi untuk mengembangkan program insentif yang menarik dan relevan.

Untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia, petugas pajak harus memiliki kompetensi yang beragam dan mendalam. Digitalisasi dan kemampuan analitik, komunikasi yang efektif, penegakan hukum yang adil, serta kolaborasi dan pemberian insentif adalah pilar utama dalam menciptakan sistem perpajakan yang modern dan inklusif. Dengan belajar dari pengalaman Amerika Serikat, DJP dapat mengembangkan sumber daya manusianya menjadi agen perubahan yang tidak hanya menjalankan regulasi tetapi juga membangun kepercayaan dan moral kepatuhan di kalangan wajib pajak. Saatnya petugas pajak Indonesia menjadi garda terdepan dalam revolusi perpajakan. Dengan kompetensi yang tepat, masa depan perpajakan Indonesia dapat menjadi inspirasi bagi dunia, menciptakan sistem yang tidak hanya efisien tetapi juga membanggakan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline