Lihat ke Halaman Asli

Warung Pojok

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

WARUNG POJOK

Henry Trias Puguh Jatmiko

Terkadang kesunyian hidup selalu menggandeng nuansa malam hari. Menyelimutinya menemaninya hingga sang mentari bertengger disebelah timur. Kensunyian yang tiada henti membuntuti dari segala arah. Gelap. . . . . gelap. . . .gelap. . . . gelap gulita. sang surya tak dapat menembus kegelapan yang melumuri dunia sunyi. Aku mencoba berjalan ditengah keramaian banyak orang. Terkadang aku mencoba memasuki dunia orang banyak. Berbaur di dalamnya, berkolaborasi di dalamnya dan bertutur didalamnya. Sungguh tak enak bener rasa ini.

Aku merasa pagi ini tak seindah dulu, aku merasa hari ini tak secerah dulu, aku merasa sang surya selalu cemberut padaku. Entah kenapa semuanya jadi begini. Berubah dan tak mengarah. Berpijak tapi tak ada pijakan. Oh dunia! aku menjadi sunyi begini, oh dunia! kabut apa yang menyelami pikiranku. Kini lilin-lilin dalam hati telah mati hanya setetes lelehan menggumpal menjadi endapan lara. Beginilah derita seorang manusia ketika kesunyian dalam hatinya sedang melanda. Kesunyian batinya telah tersekap entah apa sekapan itu, entah apa balutan antara sekapan itu. kelak aku bisa menjawabnya.

Aku memandangi aspal yang terbasahi oleh embun. Kulihat kilauan-kilauan seperti permata. Andai itu permata aku akan turun dan mengambilnya kemudian kuhadiahkan untuk kado ulang tahun special. Dibalik jendela aku hanya memandang lurus kedapan. Menanti sesuatu yang kunanti setiap pagi. Tak heran terkadang aku terlambat kuliah gara-gara ini. Terkadang pula aku dibuatnya senang oleh kehadirannya. Aku mengalihkan perhatianku kearah kasur berselimut hitam polos. Ada sedikit bercakan membulat di bantal, di guling dan di spreeei. “ah tidurku terlalu lelap semalam” aku tersenyum kecil mengingat apa yang terjadi semalam. Senyum yang kupaksakan atas apa yang terjadi semalam.

Pilu jika dirasa, memang pedih bila kucerna. Memamah seluruh bagian rona yang telah terpancar. Meleburkan warna dengan kedipan mata, dari mejikuhibuniu sekarang hanya tinggal kenangan saja. Dulu berwarna-warni indah berseri-seri mengalahkan cahaya malaikat, Tapi sekarang buram tak seputih kertas HVS.

“ bang, aku bakalan keluar negeri. Mewujudkan mimpiku bang!”

“ wow. Keren, kamu lolos seleksi ya”

“iya bang, sayang abang gak ikut seleksi”

“ah, abang ngalah sama kamu kok. Kalau abang ikut nanti yang lolos bang Roy”

“ah, PD kamu bang. Malam ini ima bahagia sekali bang. Tau gak bang ima susah payah mati-matian demi ikut seleksi ini bang. Alhamdulillah lolos bang”

“kalau begitu kita ke warung pojok”

“ Berangkaaaaaaaaaaaaaaaat”

Aku melihat sepercik kilauan mukanya bercahaya tampak memesona. Pancaran sang luna hanya sebatas fatamorgana tak lebih. Mungkin sang luna cemburu ketika aku berjalan bersamanya. Mungkin sang luna tampak muram ketika aku berada disampingnya. “sorry luna aku melupakanmu untuk malam ini. Meskipun kau telah menjadi cahaya yang terang untuk malam ini. Aku hanya tersenyum dari bawah terkadang melirikmu saat kau bertengger di langit bersama bintang kejora. Luna kau diam saja ya dari atas sana. Nikmati tugasmu hari ini menerangi para penduduk bumi. Jangan cemburu ya Nanti kalau aku bisa terbang kucium kau.!”

“hey bang, kenapa kau senyum sendiri. dasaaar gilak”

“oh, tidak tu, aku sedang memandang bulan purnama. Tampak cerah. Tapi keliatannya murung juga. Apa mau hujan ya”

“ eeeeee abang, bulannya cerah begitu dibilang murung. ! ayo buruaaan warung pojok keburu tutup. Sudah malam ini”

“iyeee. Iyeeeeee. Yukkk”

Aku cepat berjalan, begitu juga si ima. Tampak mungil jika berjalan. Diam-diam kuperhatikan jalannya. Tas kecil berwarna ungu yang digendongnya seakan memantul-mantul. Memberontak seakan ingin lepas dari pundaknya. Jalannya yang begitu lincah seperti orang berlari. “Itu orang jalan apa lari sih” ucapku dalam hati. Aku tertinggal olehnya tiga langkah kedepan. Ya apa boleh buat, aku percepat jalanku.

“kamu jalan kayak pemadam kebakaran sedang dinas”

“ itu bang keburu tutup.! Ayo to !”

“iyaaaaa, baweeeeeel”

“kamu lemot bang. Jalan saja gak bisa cepat, kurangi tu rokok. Nafasmu ngos-ngosan gitu”

“ ah kamu ini bawel kayak mamiku. Selalu dihubung-hubungin sama rokok”

“kamu ini dibilangin ngeyeeeel, dasar gondrong”

“aduuuuuuuuuuuuh, sakit tau. Lepaskan rambutku woooi”

“hahahhahaaaa.. biar tahu rasa tu”

“tak cium ketagihan luuu”

“apa kamu bilang?? ima gak denger”

“eh anu, tak cubit kapok luuu” tergagap aku menjawabnya. Bingung mau jawab apaan. Terlanjur keluar.

“eh, bukan yang itu. tadi apa??”

“ah , lupakan. Ayo buruan warung pojok masih buka, rame pula. Kami bisa langsung makan” secepat mungkin kualihkan pembicaraaan. Semoga dia tak mengungkitnya saat makan.

Warung pojok sangat digandrungi di ibukota jakarta. Terutama para mahasiswa Universitas Indonesia. masakannya enak harganya pun murah. Biasanya tempat seperti itu yang digandrungi para mahasiswa. dijadikan tempat nongkrong terkadang juga dijadikan tempat untuk diskusi para mahasiswa. Samalah seperti kantin waktu zaman aku SMA dulu untuk tempat makan, ya untuk tempat gossip, tempat untuk minum ya tempat olahraga paru-paru.

“bang, kau mau pesen apa?”

“ aku sama kayak kamu lah”

“ oh ya sudah”

“ pak miiiin, nasi goreng sama kopi panas ya”

“ iyaaaaa neng”

Dengan gaya bicaranya yang khas aku suka padanya, cara dia berbicara, cara dia tertawa, cara dia tersenyum cara dia cemberut, cara dia menangis. Aku masih hafal betul bentuk mukanya. Pipi yang tembem putih kemerahan. Jidat agak nonong, giginya putih matanya yang sipit jika tertawa sorotan matanya setajam dan sayup-sayup ketika kesedihan bertemu di hatinya. Sketsa wajah yang di desain tuhan begitu indah.

Sempat aku berpikir untuk menjadikannya pacar, tapi itu hanya sebuah pikiran saja. Tak pantas cewek sesempurna dia dijadikan pacar, harusnya dijadikan pacar yang diikat dengan keskralan aturan tuhan. Kesakralan tuhan yang di dapat dalam ikatan resmi memang diinginkan oleh semua orang, tapi terkadang orang salah menempatkan posisi. Posisi yang sebenarnya belum waktunya sudah terlanjur didinikan. Perubahan zaman yang terkontaminasi oleh budaya luar memang berdampak negatif bagi merpati-merpati putih dan kini merpati itu sudah terkontaminasi hingga berwujud burung prenjak yang hobi kawin. Padahal filosofi burung merpati itu diibaratkan kesucian cinta yang dibingkai dalam kesetiaan tanpa kenal lelah tanpa kenal batas. Burungmerpati selalu menempatkan pasangannya sesuai apa yang seharunya ditempatkan. Oh merpati kini budayamu banyak ditinggalkan orang banyak.

“taraaaaaaaaaaa, nasi goreng sambel gombel” seruu pak min.

“wah asyik, ayo bang dimakan”

“yap”

Aku menikmati nasi goreng dengan cirri kas sambel gombel. sambel yang bernuansa merah kehitaman dengan campuran belut sawah membuat lidah bergoyang ketika sesuap nasi memasuki mulut. Aku tahu bener nasi goreng di warung pojok ala pak min terkenal di universitas Indonesia. harganya merakyat dan rasanya pun bisa dikatakan mantab. Aku dan ima sering berkunjung disini, sekedar mencari sarapan pagi atau sarapan senja. Biasalah anak kos. makannya pagi mulai jam 10.00 dan makan senja menjelang magrib. Sehari makan dua kali.

“bang, bulan depan aku uda berangkat nih, gak ada yang nemenin kamu dong sarapan senja”

“emang harus kamu yang nemeni saya, sarapan senja”

“eh cileeeeeeeee, ngambek nih”

“siapa yang ngambek, sok tahu lu”jidatnya yang nonong itu ku dorong dengan telunjukku

“hahahahahahaa”

“semester depan kamu uda lulus dong bang. Uda ngajuin judul skripsi?”

“eh masih 2 semester kali, ini kan saya baru semester 6.!”

“eh, jangan salah bang.kakak tingkatku saja lulus semester 7.”

“itu kan kakak tingkat mu, songong!. Kamu sengaja to, biar aku cepet-cepet lulus”

“ya iya lah, ngapain lama-lama dikampus?”

“biarlah, masih dalam tatanan mencari jati diri. Hahahaa”

“ah, kamu bang kaya koncil saja, ABG labil dah. Umur aja yang tua, jati diri masih dicari-cari. Wuuuuu, nyari calon istri gitu. Baru pas namannya”

“kalau abang nyari calon istri mau, diberi makan apa coba. Kuliah aja belum kelar. Duit Masih minta orang tua”

“bener juga siih bang, tapi kan setidaknya punya bribiakan dulu. Untuk masa depan kelaaak ! hahahaa”

“ah crewet aja luu, bawel tuh pak min mau tutup. Ayo nasi gorengnya segera habiskan”

“hmmmmmmmmm”

Hening seketika itu. lampu petromak pak min cahayanya mulai memudar, pengunjung yang ramai kini kian berkurang tinggal aku dan ima yang masih sibuk dengan piring yang terisi nasi goreng sambel gombel. aku merasakan kedetakan dengan sosok perempuan ini. Seorang aktivis lembaga di universitas. Seorang perempuan yang mempunyai pemikiran holistic, seorang gadis mungil yang sebenarnya gembeng tapi tampak tegar, ketika masalah selalu menghimpit. Aku suka dia, sangat suka dia. Dia sangat berbeda dari yang lainnya. Dia sangat lain dari yang lainnya. Ketika kami berdua berjalan hendak pulang, sempat kukatakan padanya.

“tahun depan aku ingin menikah im.”

“whaaat !, dengan siapa bang”

“belum tahu.. hahahahaa”

“ wah berat, (sambil meraba-raba kepalaku). Kamu gak sakit to?”

“tidak” jawabku pelan

“laaah, pengen nikah kok belum punya calon itu gimana”

“kamu lah calonnya”tapi tak jadi kuujarkan.

“ 1 tahun bang, kita gak bakal ketemu. Aku pasti akan merindukan saat-saat seperti ini ketika sama kamu bang. besuk bulan depan ima uda berangkat.”

“ya nanti, kan kamu bisa sama bule spanyol. Hahahahaa”

“ iya kali ya bang.. hahaha”

“aku akan tetap menunggu mu satu tahun lagi” batinku dalam hati.

Semalam kami berpisah dipertigaan jalan. dia berpamitan denganku dengan muka yang sangat mengesankan sekali. Wajah yang imut dan senyum yang cemerlang

“thanks ya im, nasi gorengnya”

“sama-sama bang. makasih ya, hari ini uda nemenin ima”

“kamu buruan tidur ya”

“iya bang… daaaaaaa”

Sejenak flashback nuansa semalam tadi. Amatan matanya, senyumnya yang hadir dan keceriaan yang dibawanya masih mengendam terus dikepala. “Kutememui engkau dikampus fakultas ekonomi tepat di depan kelas”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline