Salah satu topik yang dibahas dalam Apa Kabar Indonesia Pagi adalah masalah kemacetan di Jakarta. Salah satu penyebabnya adalah tingginya persentase penggunaan kendaraan pribadi daripada kendaraan umum. Kalau tidak salah perbandingannya adalah 9:1 dan ini angka perbandingan yang cukup fantastis sehingga wajar jika terjadi kemacetan.
Biasanya yang sering disorot adalah para pengemudi roda empat pribadi yang memadati jalanan ibu kota ini. Tapi kali ini yang dibahas adalah kepemilikan sepeda motor yang angkanya sudah mencapa 8 juta orang yang memiliki sepeda motor baik itu yang sudah lunas ataupun yang masih ada tunggakan cicilan.
Seorang polisi dalam wawancaranya menegaskan bahwa perlunya penekanan angka pertumbuhan kepemilikan sepeda motor. Bisa dilihat dengan jelas sepeda motor yang membanjiri Jakarta ikut serta membuat kemacetan yang hampir di seluruh ruas jalan. Kenapa pertumbuhan kepemilikan sepeda motor sangat cepat? Jawabannya adalah semakin mudahnya proses pengajuan kepemilikan motor. Bayangkan hanya dengan DP tiga ratus ribu motor sudah di tangan. Di samping itu biaya perawatan dan operasionalnya relatif murah.
Saya pun termasuk salah satu pengendara motor dalam banyak aktivitas yang saya kerjakan. Terlebih untuk berangkat dan pulang kerja motor adalah kendaraan yang paling efektif dan efisien. Bentuknya yang ramping sangat memudahkah untuk melenggang di jalanan meski dalam keadaan macet.
Tapi saya pun setuju dengan adanya pembatasan kepemilikan motor atau rencana lain yang intinya mengurangi jumlah peredaran motor di jalanan. Dari pengalaman saya dari tahun ke tahun jumlah pekerja yang menggunakan motor terus naik. Bayangkan saja, sebuah jalan tikus yang masih sepi sekitar satu tahun lalu kini pasti aja terjadi macet satu atau dua kali dalam seminggu. Dan yang mendominasi kemacetan adalah kendaraan roda dua tersebut. Terkadang membuat saya jengkel juga jika sudah terjebak diantara ribuan sepeda motor yang mengantri dalam kemacetan.
Jika sepeda motor ingin dibatasi penggunaannya di jalanan maka harus dicarikan dulu transportasi alternatifnya. Misalnya saya dalam berangkat bekerja bersedia tidakmenggunakan motor asalkan ada transportasi pengganti yang dapat membawa ke tempat kerja dengan aman, nyaman dan tentunya murah.
Saya pernah ngeteng berangkat ke tempat kerja karena waktu itu motor sedang berada di bengkel. Di hitung-hitung ongkosnya sama dengan uang bensin selama satu minggu. Hal ini terjadi karena kendaraan umum tidak ada yang langsung ke kawasan industri tempat saya bekerja. Saya pun harus berfikir ekonomis dimana saya harus memilih uang transport yang termurah dan itu jatuh pada penggunaan sepeda motor. Saya pikir alasan ini juga ada para pekerja lain yang menggunakan sepeda motor. Lebih murah.
Jadi untuk kebijakan pembatasan jumlah kendaraan sepeda motor kiranya perlu dibarengi dengan solusi alternatif untukmenggantikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H