Lihat ke Halaman Asli

Kesya Salsabilla Nasution

Mahasiswa Ilmu Komunikasi - Universitas Sumatera Utara

Masuk Akun "Mahasiswi Cantik", Membanggakan atau Merugikan?

Diperbarui: 30 Oktober 2022   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kecantikan merupakan hal yang penting bagi setiap perempuan. Namun, jika ditanya mengenai definisi dari cantik  itu sendiri, sebagian besar orang akan menjawab cantik itu identik dengan perempuan  yang berkulit putih dan bersih, berbadan tinggi dan langsing, serta rambut hitam dan panjang.

Perempuan yang cantik dianggap memiliki privilege (hak istimewa) dalam lingkungan sosial, seperti lebih mudah bergaul, mendapat pacar, hingga mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, tak heran para perempuan kerap berusaha untuk mencapai standar tersebut, sehingga mereka terus berlomba-lomba untuk menjadi cantik.

Media massa dan media sosial memiliki andil dalam penyebaran makna cantik ini. Salah satunya pada akun instagram "mahasiswi cantik" yang dibuat atas nama kampus seperti akun @ugmcantik. Akun ini mendapat banyak perhatian dan berhasil memperoleh 220 ribu pengikut. Akun ini kerap kali mengunggah foto mahasiswi yang dianggap cantik dan populer dengan menyertakan nama dan fakultas dari si pemilik foto. Namun, pemaknaan cantik dalam akun ini hanya diperuntukkan bagi perempuan yang memiiki kulit putih dan mulus dengan gaya dan make up yang kekinian.

Di lain sisi, kehadiran akun ini mengundang banyak kontroversi. Akun ini dianggap melakukan objetifikasi terhadap perempuan. Objetifikasi merupakan tindakan sosial terhadap seseorang dengan memperlakukannya seperti objek atau benda. Objetifikasi sendiri identik dengan seksualitas, sehingga objetfikasi perempuan berarti memperlakukan seorang perempuan sebagai objek seksualitas belaka.

Selain itu, akun tersebut dianggap melanggar privasi karena kerap kali mengunggah tanpa izin dan sepengetahuan dari pemilik foto tersebut.

Mungkin sebagian perempuan tidak merasa keberatan atau bahkan merasa bangga ketika fotonya diunggah di akun tersebut. Namun, jika mereka memahami dan berpikir secara kritis hal tersebut justru merugikan mereka. Akun tersebut bisa mendapatkan banyak pengikut dan meraih keuntungan dari endorse hanya dengan mengunggah foto milik orang lain. Tak jarang juga muncul komentar yang tidak beretika pada setiap postingan.

Jika dikaitkan dengan paradigma kritis, hal ini menunjukkan bahwa sistem patriarki di era modern ini masih sangat melekat di masyarakat. Paradigma krtiis beranggapan bahwa realitas telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagainya dalam waktu yang panjang.

Standar kecantikan yang ada saat ini tidak terlepas dari nilai-nilai yang diciptakan oleh masyarakat. Padahal definisi cantik sangat luas dan setiap perempuan memiliki makna cantiknya tersendiri.  Fenomena ini erat hubungannya dengan  sistem patriaki, dimana laki-laki diberikan kuasa penuh untuk mengukur sisi feminism seorang perempuan.

Selain itu, perempuan senantiasa dijadikan objek dan alat untuk memuaskan nafsu laki-laki. Hal ini juga dibangun dalam sistem patriarki, dimana laki- laki merupakan sosok yang berkuasa atas perempuan. Masyarakat dengan budaya patriaki menganggap perempuan memiliki banyak tuntutan dan dinilai lemah dan tak berdaya.

Lalu apakah kita akan terus diam dan terjebak di sistem patriarki ini? Akankah perempuan terus dianggap sebagai objek dan dinilai berdasarkan kecantikannya saja?

Maka dari itu, pentingnya edukasi dan pemahaman isu-isu kesetaraan gender khususnya pada laki laki. Dengan begitu, budaya patriarki ini akan perlahan luntur sehingga perempuan tidak lagi dipandang rendah dan memiliki hak yang sama dengan laki- laki

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline