Aku masih belum mengerti harus memualinya dari mana. Tapi terkadang aku juga berfikir jika ini yang memang sudah terjadi. Kita semua berbicara tentang tiga aspek yang berbeda tapi saling berkaitan yaitu kenegaraan, keagamaan dan kemanusiaan. Ibaratkan jika kenegaraan itu adalah tempatnya dan keagamaan adalah penghuninya kemudian kemanusiaan kita ibaratkan juga dengan sifatnya. Sudah jelas dalam hal ini tak boleh ada yang tidak sinkron satu sama lain. Kenapa begitu, karena kita sedang berada di negara yang banyak sekali perbedaan dengan satu tujuan.
Jika kita berkaca pada tahun 1997-1998 dikala era orde baru, semua masyarakat maupun dikalangan mahasiswa yang belum begitu tau politik mendadak menjadi aktivis. Begitupun juga pada saat sekarang ini. Atas kasus penistaan agama, juga semua masyarakat maupun mahasiswa yang belum begitu tau tentang agama mendadak menjadi ahli agama. Semua serba instan untuk menjadi sebuah peran dalam kenegaraan.
Sangat sulit sekali untuk berpihak. Ketika kita harus menuntut adanya penistaan kepada pihak lain sedangkan kita juga pernah menistakan pihak lain. Sebuah keadilan yang mengatasnamakan golongan tanpa menguatkan kemanusiaan didalamnya. Sama saja seperti egois dalam diri sendiri. Bukankah tuhan itu tidak suka kepada orang yang egois.
Banyak orang-orang dari mayoritas berpendapat jika agama itu tidak bisa dikaitatkan dengan negara. Menurutnya, jika disuatu tempat dimana suatu golongan itu paling banyak orangnya maka tempat itu harus jadi miliknya. Padahal jika kita berfikir, setiap manusia itu diberi sifat kemanusiaan oleh tuhan untuk saling membantu satu sama lain meskipun berbeda keyakinan maupun golongan. Aku hanya perlu menggaris bawahi dengan tebal bila agama itu memberikan kedamaian bagi kemanusiaan bukan sebaliknya.
Kita sekarang sudah hidup dizaman dimana fitnah-fitnah menyebar dengan tenangnya. Banyak yang melakukan fitnah tanpa sadar. mereka yang membenci satu sama lain hanya karena berbeda pemikiran maupun pendapat. Saling membenarkan pendapat sendiri dengan mengorbankan kerabatnya. Orang-orang yang hanya bisa menuduh tanpa mau dituduh oleh orang lain.
Ya itu aku maupun kita di zaman sekarang ini. Di zaman yang kaya oleh hartanya tapi sudah miskin akan kemanusiaannya. Saling waspada kepada satu sama lain, Saling mengawasi satu sama lain, bahkan sampai menghina kepada satu sama lainnya. Tak ada kepercayaan juga tak ada yang mempercayai. Semua sudah sibuk dengan dirinya sendiri untuk berebut kunci pintu surga yang dijanjikan tuhan. Semuanya hanya ingin menikmati kenikmatan saja tanpa menghormati yang memberi nikmat kepada mereka.
Angin mulai mendesah dengan iringan zaman yang sudah mulai berubah. Jari-jari mungil mulai menggerakkan gesture berdzikir dengan nikmatnya menggunakan media sosial. bebas berpendapat maupun juga bebas menghujat tanpa beretika.
Aku tak tau apa-apa bukan berarti aku tak mau tau apa-apa. Ketika semuanya sudah tergerus oleh limbah kursi penguasa, bumi pun sudah sadar akan hadirnya.
Biarkan aku yang berdosa diantara kerumunan mayoritas yang sedang berjuang memperjuangkan pintu surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H