Bukannya benci, tapi saya "tidak terlalu suka" dengan program menciptakan desa wisata. Ini juga tidak berarti, bahwa saya tidak menyukainya.
Gagasan desa wisata ini telah merebak di wilayah kecamatan saya, tapi belum ada satu pun dari sembilan desa yang berhasil.
Beberapa ide untuk membuat atraksi guna menarik pengunjung, telah bermunculan di beberapa desa tetangga, termasuk di desa saya. Namun, upaya tersebut belum menetaskan hasil.
Mungkin memang belum ada keseriusan untuk menggarap ide yang telah bermunculan.
Satu hal yang membuat saya "tidak terlalu suka" dengan desa wisata adalah tentang kekhawatiran penguasaan keuntungan finansial, sistem tata kelola bangunan dan sistem kelembagaan.
Secara personal, ihwal "tidak terlalu suka" saya berdasar pada ingatan sebuah cerita pendek (cerpen) yang pernah saya baca. Cerpen itu ditulis oleh Gde Aryantha Soethama. Cerpen berjudul "Sawah Indah dan Subur."
Cerpen ini termaktub di buku kumpulan cerpen Mandi Api (2006) yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas.
*****
Dalam cerpennya, Gde Aryantha Soethama mengisahkan sebuah desa di Bali yang merupakan desa petani dengan sawah yang subur. Lalu ada tokoh dermawan bernama Pak Jamah yang kerap meringankan beban keuangan kepada para penduduk. Bantuan itu tanpa pamrih.
Bahkan, karena merasa tidak enak hati, beberapa warga memberikan surat tanah sebagai jaminan karena sudah dibantu pinjaman duit.