Lihat ke Halaman Asli

Wayan Kerti

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Anak Desa yang Bermimpi

Diperbarui: 8 Juni 2018   05:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Dokumen pribadi

I Wayan Kerti, terlahir di sebuah desa yang dikenal sebagai penghasil salak bali, tepatnya di desa Sibetan. Sebuah desa yang terbilang subur untuk daerah yang mayoritas wilayahnya tandus dari "Bumi Lahar" Kabupaten Karangasem. Tepatnya, lahir di Banjar Dinas Pengawan, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten paling timur dari Pulau Dewata pada hari Senin Keliwon, tanggal 26 Juni 1967 dari pasangan I Nengah Kaler dan Ni Wayan Kenis.

Sebagai sulung dari tujuh bersaudara, aku sesungguhnya terlahir dengan lebel nama I Wayan Puja. Ya, I Wayan Puja sebuah nama yang dianugrahi oleh Hyang Widi melalui sebuah proses ritual yang dilakukan oleh kedua orang tua pada saat tali pusar terlepas dari tubuh mungilku, yang di Bali terkenal dengan istilah upacara "Kepus Pungsed".

Nama sakral yang kusandang "disamsat" oleh saudari sepupuku, Ni Nyoman Remi yang mengantarkanku untuk pertama kali memasuki gerbang rumah ilmu pada tahun 1975. Dengan segala keluguan, aku menerima begitu saja ketika guru yang menyapaku melalui daftar nama yang di pegangnya memanggil nama, "I Wayan Kerti, acungkan tangan".

Dengan penuh keraguan aku mengacungkan tangan, karena melihat bahasa isyarat dari kakak sepupuku di depan pintu kelas agar aku mengangkat tangan. Aku sambut panggilan guruku dengan menaikkan tangan kanan, walau penuh keraguan. Sejak saat itu, di rumah baruku itu aku menyandang nama baru, melepas nama sakaral sejak kelahiranku sampai usiaku 8 tahun saat itu. Tak ada argumen yang keluar dari mulutku. Aku terima semuanya dengan ihklas.

Masa kecilku, aku habiskan di desa kelahiran sampai meyelesaikan pendidikan SMP, di SMP Negeri Sibetan pada tahun 1984. Sekolah menengah pertamaku ini, kini sudah berkamuflase menjadi SMP Negeri 1 Bebandem, dan lokasinya pun telah berpindah karena perluasan.

Sebagai anak desa dari keluarga petani miskin di desa terpencil, aku bermimpi memperbaiki tarap hidup keluargaku. Keyakinanku, bahwa hanya pendidikanlah yang mampu mengubah semua itu. Oleh karena itu, aku lalu melanjutkan pendidikan sekolah lanjutan atas ke kota Amlapura, tepatnya di SMA Negeri 1 Karangasem (SMA 1 Amlapura sekarang). Sekolah ini adalah sekolah SMA negeri satu-satunya saat itu di "Bumi Lahar". Jarak yang cukup jauh, menyebabkan aku harus rela terpisah dengan keluarga. Seminggu sekali terkadang baru pulang kampung.

Keberadaan ekonomi keluarga yang minim, menyebabkan diriku rela bersekolah sambil membantu bapak-bapak pegawai Pemda Karangasem saat itu agar tidak membayar biaya kost dan makan-minum sehari-hari. Bak seorang pembantu rumah tangga, aku selalu siap-siaga memasak, berbelanja ke pasar, maupun mencuci dan menyeterika. Hal itu menyebabkan diriku sering mengantuk dan kurang konsentrasi saat di sekolah, yang berimbas pada prestasi akademikku yang juga melorot. Akan tetapi, semua itu aku jalani dengan tabah agar cita-citaku bisa tercapai. Jurusan Biologi menjadi jurusan pilihanku saat itu, karena cita-citaku menjadi dokter.

Tahun 1987 aku tamat SMA. Aku bingung akan menentukan pilihan antara mimpi menjadi dokter dengan realita ekonomi keluargaku yang minim. Akhirnya, dengan penuh keberanian dan tekad orangtuaku aku tetap harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi seperti teman-teman sepermainanku sejak SD dahulu. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Udayana menjadi tempatku berlabuh, dengan mengambil jurusan Bahasa dan Seni, Prodi Bahasa Indonesia. Mungkin orang akan mengatakan bahwa pilihanku adalah pelarian. Tetapi, itulah realita yang paling pas untuk ukuran kantong keluargaku, dan aku harus tetap bangga dan belajar bersungguh-sungguh agar mimpi mengubah nasib keluarga bisa terwujud.

Setahun menjalani kuliah di FKIP UNUD, tiba-tiba ada kabar buruk bahwa ibuku di kampung sedang sakit dan dalam keadaan kritis. Setelah menjalani perawatan di RSUD Karangasem dan di RSUP Sangglah 3 bulan, akhirnya ibuku, Ni Wayan Kenis pergi meninggalkanku dan adik-adikku yang masih kecil untuk selam-lamanya. Dasar ekonomi keluarga yang pas-pasan, ditambah biaya pengobatan di rumah sakit, biaya "Ngaben", biaya hidup keluarga, dan juga biaya kuliahkku, membuat ekonomi keluargaku semakin terpuruk. Kondisi ini semakin menguatkan tekadku dan ayahku agar aku dan adik-adikku tetap bisa sekolah, walau dengan bekal yang teramat minim.

Lima tahun aku jalani sebuah pendidikan calon guru ini. Di tahun 1992, aku menyelesaikan pendidikan S1 itu. Sebuah prosesi wisuda yang amat sederhana, tanpa didampingi orangtua aku jalani. Ya, sengaja orangtuaku tidak aku ajak ke tempat wisuda, agar beliau tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya. 

Apalagi, jarak ke lokasi wisuda di Denpasar itu 65 km harus mencarter mobil Izuzu akan memakan biaya besar untuk ukuran ekonomi keluargaku. Sementara, setelah tamat nasibku belum tentu akan mujur bisa diterima menjadi guru. Maklumlah, saat itu bukaan penerimaan CPNS guru di Bali lama tidak terdengan, utamanya untuk tamatan program S1 seperti diriku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline