Lihat ke Halaman Asli

Kertas Putih Kastrat (KPK)

Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM IKM FKUI 2022

"Naturalisasi" Dokter, Solusi atau Sebatas Ambisi?

Diperbarui: 25 Juni 2024   22:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penulis: Muhammad Zulfan Rahadian Al Faqih

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, dalam acara Forum Komunikasi Nasional Tenaga Kesehatan di Jakarta pada hari Selasa, 21 Mei 2024, menyatakan ide untuk melakukan "naturalisasi" tenaga kesehatan asing guna meningkatkan kualitas dan kompetensi tenaga kesehatan Indonesia. 

"Untungnya orang Indonesia tidak ada yang melarang pelatih bola tidak boleh asing. Kalau kita ada Undang-Undang pelatih bola asing harus belajar dulu 5 tahun di Indonesia untuk bisa jadi pelatih, ga akan (timnas) Indonesia menang. Ini bagus buat kita (di sektor kesehatan) introspeksi," ucapnya.[1]

Pernyataan tersebut ia perkuat pada tanggal 27 Mei 2024. Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengaitkan kebutuhan dokter asing dengan kehadiran 22 orang tim medis dari Arab Saudi dalam rangka kegiatan sosial operasi jantung gratis bagi pasien tidak mampu di Sumatera Utara. Ia mengatakan bahwa tidak hanya menyelamatkan nyawa masyarakat Indonesia, kehadiran tim dokter dari Arab Saudi juga memberikan pelatihan kepada dokter-dokter muda Indonesia.[2]

"Ini contoh nyata keberadaan dokter asing dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dokter-dokter spesialis bedah jantung kita terutama yang muda-muda karena mereka juga turut terlibat dan melihat langsung tindakan yang dilakukan oleh beberapa dokter bedah jantung terbaik di Arab Saudi," kata Menkes.[2]

Menteri Kesehatan mengungkapkan saat ini terdapat tiga masalah utama dalam pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu jumlah, kualitas, dan distribusi. Ia menyatakan bahwa rasio dokter umum di Indonesia masih berada di angka 0,47 per 1.000 penduduk, masih jauh dari angka ideal jika dibandingkan dengan rata-rata dunia yang sebesar 1,76 per 1.000 penduduk. Selain masalah rasio dokter dengan penduduk, Menkes juga menyebutkan masih terdapat sekitar 500 Puskesmas di Indonesia yang belum memiliki dokter dan Indonesia juga masih kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis. Selain masalah jumlah tenaga kesehatan, masalah distribusi juga menjadi sorotan karena persebaran tenaga kesehatan masih terpusat di Pulau Jawa. Salah satu alasan tidak meratanya distribusi adalah pendapatan bagi tenaga kesehatan di daerah yang kurang sesuai dan besarnya persaingan antara orang-orang perkotaan dengan orang-orang di daerah. Masalah ketiga yang menjadi sorotan Menkes adalah masalah terkait kualitas tenaga kesehatan Indonesia.[3]

Menkes, Budi Gunadi Sadikin, berkata bahwa masyarakat jangan memandang kedatangan dokter asing sebagai sosok yang akan menghabiskan dan menutup lapangan pekerjaan, tetapi hal tersebut merupakan solusi untuk salah satu masalah utama pelayanan kesehatan di Indonesia, yaitu masalah kualitas tenaga kesehatan Indonesia yang merupakan isu fundamental.[3]

Ide Menkes terkait "naturalisasi" untuk meningkat kualitas tenaga kesehatan di Indonesia mendapat tentangan dari Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra. Ia menyatakan bahwa kedua hal tersebut tidak dapat dijadikan perbandingan. Ia juga berkata bahwa tenaga kesehatan tidak hanya tentang keahlian dan kompetensi, tetapi juga mencakup nilai budaya serta etika yang berkaitan erat dengan sistem pelayanan kesehatan. Hal-hal terkait tenaga kesehatan tidak bisa disederhanakan seperti pada sepak bola.[4] Membandingkan tenaga kesehatan dengan pemain sepak bola merupakan suatu hal yang kurang sesuai, apalagi dilakukan oleh seorang Menteri Kesehatan.

Jika melihat Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, tenaga medis serta tenaga kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri memang dapat melaksanakan praktik di Indonesia setelah melalui evaluasi kompetensi. Namun, hal tersebut tidaklah mudah dan memerlukan berbagai syarat serta melibatkan banyak pihak seperti Kementerian Kesehatan, konsil, dan kolegium terkait.[5] Proses evaluasi kompetensi dokter asing di negara lain seperti Amerika Serikat, Kanada, Selandia Baru, Inggris, serta Australia juga harus melalui tahap yang kompleks dan memakan waktu lama (berbulan-bulan hingga beberapa tahun) serta memerlukan biaya yang tidak sedikit. Selain waktu dan biaya, masalah lain seperti kendala bahasa serta standar kompetensi juga dapat menjadi halangan. Indonesia merupakan negara dengan banyak bahasa daerah serta aksen yang berbeda-beda, hal tersebut tentu akan menjadi kendala dalam praktik dokter asing.[6, 7] Selain itu, masalah kesehatan di negara tropis dan negara berkembang seperti Indonesia yang cenderung berupa penyakit infeksi dan endemik juga dapat menjadi kendala dalam praktik dokter asing di Indonesia. Masalah lain seperti fasilitas kesehatan serta pembagian bidang kesehatan yang berbeda antar negara juga menjadi batasan dalam praktik kedokteran.[6]

Dokter lulusan luar negeri yang praktik pada negara lain juga cenderung menghadapi cukup banyak batasan, seperti masalah profesionalitas terkait lisensi, akreditasi, registrasi dan birokrasi, masalah terkait kompetensi yang tidak relevan dengan kebutuhan pasien, lingkungan tempat bekerja yang tidak sesuai karena ada diskriminasi, serta terbatasnya jenjang karir. Selain itu, terbatasnya pengetahuan terkait negara tempat praktik serta stres akibat bekerja bukan pada negara asal juga menjadi masalah yang akan dihadapi oleh tenaga kesehatan lulusan luar negeri. Kurangnya dukungan dari sekitar juga menjadi masalah penting yang harus dihadapi seorang dokter lulusan luar negeri jika ingin praktik di negara lain.[8]

Apabila dilihat dari kendala serta batasan di atas, upaya Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin terkait ide "naturalisasi" tenaga kesehatan perlu untuk ditinjau kembali serta dikaji ulang. Ide tersebut memerlukan persiapan yang matang dan peraturan lebih detail terkait perizinan dokter asing di Indonesia. Jika ide Menkes tidak berhasil memenuhi tujuan awalnya, yaitu meningkatkan kualitas dokter Indonesia, justru akan ada kemungkinan menjadi bumerang yang membuat kesenjangan antara tenaga kesehatan asing dengan tenaga kesehatan Indonesia menjadi semakin besar serta menjurus pada bisnis kesehatan tanpa ada dampak positif bagi pelayanan kesehatan di Indonesia. Menkes juga seharusnya memikirkan solusi dari masalah lain yang sebenarnya terjadi seperti distribusi dokter dan pemerataan fasilitas kesehatan pada setiap daerah karena masalah tersebut juga bersifat fundamental.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline