Penulis: Danishara Dara Purnama
Presiden Joko Widodo menerbitkan regulasi baru terkait iuran untuk program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) bagi seluruh pekerja. Iuran Tapera akan memotong gaji per bulan PNS, TNI, Polri, pekerja BUMN, BUMD, hingga pegawai swasta. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.[1] Sejak diluncurkan, Tapera telah menuai beragam reaksi dari masyarakat, mulai dari dukungan hingga kritik tajam.
Pada regulasi ini, pekerja yang sudah memiliki hunian atau rumah tetap wajib ikut simpanan Tapera apabila memenuhi kriteria peserta yang diatur. Sebab, kepesertaan Tapera bersifat wajib bagi setiap pekerja maupun pekerja mandiri yang berpenghasilan minimal setara upah minimum, serta berusia 20 tahun atau sudah menikah saat mendaftar kepesertaan Tapera. Menurut Komisioner Badan Pengelola (BP) Tapera, Heru Pudyo Nugroho, dana yang dikembalikan kepada peserta Tapera ketika masa kepesertaannya berakhir, berupa sejumlah simpanan pokok dengan hasil pemupukannya.[2] Artinya, pekerja yang sudah memiliki rumah atau mengambil KPR tetap wajib menyetorkan iuran. Artinya, jika memenuhi ketentuan, gaji atau upah kelompok pekerja ini masih akan dipotong 2,5 persen untuk setoran dana Tapera. Uang yang sudah disetorkan tersebut nantinya akan dikembalikan setelah peserta pensiun atau berhenti dari pekerjaan, yakni saat berusia 58 tahun.[3]
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Tabungan Perumahan Rakyat yang menjadi payung hukum dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat. PP tersebut mewajibkan adanya pemotongan upah pekerja swasta sebesar 3% tiap bulannya untuk Tapera. Salah satu masalah utama yang muncul dari kebijakan Tapera adalah Penetapan UU dan PP No.21/2024 tentang Tapera yang tidak dilakukan secara transparan dan mengesampingkan asas kehati-hatian. Dengan pemotongan 3% upah karyawan yang dibayarkan 0,5% oleh pemberi kerja dan 2,5% ditanggung pekerja, dianggap Lasarus memberatkan finansial karyawan swasta atau buruh.[4] Ada beberapa kerancuan yang ada dalam UU tersebut. Sebut saja, ketersediaan perumahan merupakan kewajiban negara dan hak warga negara tetapi diubah menjadi kewajiban pekerja. Iuran Tapera tidaklah wajib dan memerlukan jaminan atas keamanan dana serta keuntungan yang diperoleh. Jika BP Tapera memiliki manajer investasi, perlu ada kepastian mengenai persentase keuntungan yang dihasilkan. Jika ini dianggap sebagai asuransi, manfaatnya tidak dapat segera diambil dan baru bisa dicairkan setelah pensiun pada usia 58 tahun. Selain itu, undang-undang ini dianggap rancu karena menyebutkan bahwa iuran Tapera seharusnya tidak memberatkan pekerja yang sudah memiliki rumah dan memiliki potongan lain yang menjadi tanggungan.
Konsep TAPERA sendiri tidak hanya ada di Indonesia. Konsep ini pun sudah dilakukan di Singapura dan Malaysia. Di Singapura, TAPERA dikenal dengan nama Central Provident Fund (CPF). Program ini dioperasikan sebagai tabungan wajib, yang tidak hanya untuk rumah, namun juga untuk dana pensiun dan dana kesehatan. Melalui skema CPF, Singapura berhasil memastikan bahwa hampir seluruh warganya memiliki rumah. Saat ini, sekitar 90% penduduk Singapura tinggal di rumah milik sendiri yang sebagian besar dibeli menggunakan tabungan CPF. Untuk program CPF, peserta wajib memiliki pendapatan di atas Rp 9,03 juta per bulan. Untuk peserta dengan usia dibawah 55 tahun, peserta diwajibkan berkontribusi sekitar 20% dari gaji, dan pemberi kerja memberikan 17% dari gaji. Jika berkaitan dengan kondisi ekonomi, Pada tahun 2023, pendapatan per kapita Singapura mencapai sekitar Rp 1,05 Miliar per tahun atau Rp 87 juta per bulan. Tingginya pendapatan ini memungkinkan kontribusi yang lebih besar ke dalam CPF, sehingga masyarakat dapat menabung dengan lebih cepat untuk pembelian rumah.[5-7]
Sama halnya dengan Singapura, Malaysia juga memiliki program bernama Employees Provident Fund. EPF menyediakan skema tabungan untuk pensiun serta memungkinkan penarikan sebagian dana untuk pembelian rumah. Program ini telah membantu meningkatkan kepemilikan rumah di Malaysia, meski tidak seefektif Singapura. Tingkat kepemilikan rumah di Malaysia berada di sekitar 75%. Untuk kontribusi sendiri, Malaysia memiliki beberapa kriteria, namun kontribusi pekerja adalah sekitar 5,5% - 11% dari gaji. Jika berkaitan dengan kondisi, pada tahun 2023, pendapatan per kapita di Malaysia mencapai sekitar Rp 178 juta per tahun, atau Rp 14,8 juta per tahun. Hal ini memungkinkan kontribusi yang cukup untuk program EPF. Dari kedua program tersebut, kedua negara yang telah melakukan implementasi tabungan perumahan berada pada pendapatan per kapita yang tinggi, ditunjang stabilitas ekonomi.[8]
Sedangkan di Indonesia sendiri, Para pekerja harus membayar iuran sebesar 3% yang dipotong dari gaji tiap bulan untuk Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Sayangnya simpanan Tapera belum cukup untuk membeli rumah di masa depan, walaupun ada imbal hasil pemupukan. Bagi pekerja yang memiliki gaji UMR DKI Jakarta yakni Rp5.067.381, iuran Tapera sebesar Rp150.000 per bulan. Di mana, para karyawan harus menanggung 2,5% atau Rp125.000 dan sisanya oleh pemberi kerja. Indonesia perlu menyesuaikan skema kontribusi agar sesuai dengan kondisi ekonomi lokal. Kontribusi yang terlalu besar dapat memberatkan pekerja, karena jumlah gaji yang didapatkan pada WNI dan Warga Negara Singapura/Malaysia sangatlah berbeda. Transparansi dalam pengelolaan dana dan sosialisasi yang baik sangat penting agar program ini bisa berjalan dengan sukses. Masyarakat harus paham bagaimana dana mereka digunakan dan manfaat apa yang mereka dapatkan.[9]
Sebuah kebijakan harus dipastikan penerapannya berjalan dengan baik, terutama kebijakan sebesar Tapera. Pengesahan Tapera di akhir masa jabatan Jokowi bukanlah langkah yang bijak karena akan mengganggu periode pemerintahan baru dan tampak seperti melempar tanggung jawab realisasi kebijakan ini. Kebijakan ini akan dapat lebih ditoleransi jika dijadikan pembahasan di awal periode pemerintahan Prabowo, sehingga pembahasan dan pertanggungjawabannya bisa dilakukan dengan lebih matang. Pengesahan di akhir masa jabatan juga berarti masa transisi persiapan pemerintahan Prabowo dan penyelesaian pekerjaan rumah dari pemerintahan Jokowi yang belum selesai. Hal ini bisa menyebabkan tumpang tindih dalam kebijakan dan program, serta kurangnya akuntabilitas. Sebuah kebijakan sebesar Tapera memerlukan perencanaan yang matang, sosialisasi yang menyeluruh, dan koordinasi yang baik antar lembaga.
Referensi
1. PP No. 21 Tahun 2024 [Internet]. Database Peraturan | JDIH BPK. [cited 2024 Jun 16]. Available from: https://peraturan.bpk.go.id/Details/286236/pp-no-21-tahun-2024
2. Media Indonesia. Jika Sudah Punya Rumah, Apakah Pekerja Wajib Ikut Tapera [Internet]. mediaindonesia.com. [cited 2024 Jun 24]. Available from: https://mediaindonesia.com/humaniora/674233/jika-sudah-punya-rumah-apakah-pekerja-wajib-ikut-tapera