Penulis: Hanif Nasyawan (FKUI 2021)
"To deny people their human rights is to challenge their very humanity" - Nelson Mandela
Jumlah pengungsi Rohingya semakin hari semakin banyak, semakin banyak pula keresahan dan penolakan dari masyarakat Indonesia, terutama rakyat Aceh. Masyarakat Aceh berang bukan tanpa alasan, melainkan ketika masyarakat kerap membantu tetap muncul berita buruk mengenai kegiatan para pengungsi. Di sisi lain, pengungsi Rohingya hanyalah manusia yang sedang berjuang untuk menghidupi diri dan keluarganya, yang rela berlayar berhari-hari hingga ke Aceh. Lantas, bagaimana jalan tengah terbaik bagi para pengungsi Rohingya?
Siapa Sebenarnya Pengungsi Rohingya?
Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim dengan populasi sekitar 3,5 juta orang yang tersebar di seluruh dunia. Sebelum Agustus 2017, sebagian besar dari satu juta orang Rohingya di Myanmar tinggal di Negara Bagian Rakhine, yang merupakan sekitar sepertiga dari total populasi di sana. Mereka memiliki perbedaan signifikan dalam hal etnis, bahasa, dan budaya dengan mayoritas Buddha di Myanmar.[1]
Ketegangan ini diperparah oleh perbedaan agama yang terkadang berubah menjadi konflik. Hingga tahun 2023, konflik telah menyebabkan kematian sekitar 10.000 orang, kehancuran lebih dari 300 desa, dan pengungsian lebih dari 700.000 orang ke Bangladesh dan negara-negara lain, termasuk Indonesia, untuk mencari perlindungan.[2]
Jejak Rohingya di Indonesia
Saat ini, lebih dari 1.300 pengungsi Rohingya telah menetap di Aceh, dan gelombang kedatangan mereka belum menunjukkan tanda berakhir. Pada tanggal 10 Desember 2023, sekitar 400 pengungsi Rohingya tiba di provinsi Aceh, Indonesia, seperti yang dikonfirmasi oleh kepala komunitas nelayan setempat, Miftah Cut Ade. Sebelumnya, Badan Pengungsi PBB, United Nations High Commissioner for Refugees atau UNHCR, melaporkan bahwa sejak bulan November, sekitar 1.200 orang Rohingya telah mencapai Indonesia. Selain Aceh, pada tahun 2021, 81 pengungsi Rohingya mencari perlindungan di Medan dan 154 pengungsi di Makassar.[3]
Setelah 15 hari berlayar, Rokiah, salah satu pengungsi Rohingya, mendarat di Aceh pada bulan November lalu. Rokiah bersama pengungsi lainnya menolak untuk kembali ke tanah kelahiran mereka. Ia menyampaikan bahwa kehidupan di Negara Bagian Rakhine sangat sulit, "Ekonomi kami sehari-hari sangat sulit. Tidak ada kehidupan di sana. Lebih baik kami dibunuh di sini daripada dikembalikan lagi ke sana," sebut Rokiah saat diwawancara oleh wartawan di Aceh.[4]
Suara dari Aceh: Dari Empati hingga Penolakan