Gelar Baru untuk Ketua DPR
Pada tanggal 17 Juli 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi menganugerahkan gelar tersangka kepada Ketua DPR, Setya Novanto. Status ini dilayangkan karena Novanto diduga menjadi aktor utama dalam kasus korupsi KTP elektronik yang merugikan negara hampir 2,3 T rupiah. Ia diduga melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan cara menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Selain itu, Novanto pun disebut sebagai kunci anggaran e-KTP dalam persidangan tersangka yang kini sudah menetap di bui, Irman dan Sugiharto. Ia diduga mengatur anggaran proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun.
Akan tetapi, Setya Novanto menanggapi gelar barunya dengan melayangkan gugatan praperadilan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 4 September 2017. Praperadilan merupakan salah satu kewenangan pengadilan yang dapat meliputi sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan. Hal ini diatur dalam Pasal 80 KUHAP.
Di dalam penyelesaian kasus korupsinya, Setya Novanto selalu mangkir apabila dipanggil oleh penyidik KPK dengan alasan kondisi fisik yang tidak mendukung. Novanto sempat dirawat di RS Premier Jakarta Timur karena penyakit vertigonya kambuh. Tercatat sudah dua kali Novanto tidak memenuhi panggilan penyidik KPK yaitu Senin, 11 September 2017 dan Senin, 18 September 2017.
Hakim tunggal yang memimpin sidang praperadilan Setya Novanto, Cepi Iskandar, menerima gugatan untuk mencabut status tersangka dari Ketua Umum Partai Golongan Karya tersebut. Menurut putusan Hakim, barang bukti yang dilampirkan oleh KPK di persidangan tidak sah karena barang bukti perkara tidak boleh berasal dari perkara lain. Hakim pun meminta KPK untuk memberhentikan kasus Setya Novanto.
Dengan begitu, bebaslah sang Papa dari status tersangka di mata hukum tertanggal Jumat 29 September 2017. Hakim menilai bahwa status tersangka tidak dengan mudah disandangkan kepada seseorang apabila penyidikan belum selesai secara menyeluruh karena hal ini menyangkut harkat dan martabat orang tersebut. Putusan ini disambut dengan riuh di ruang sidang, terlebih ketika hakim mengatakan bahwa penyidikan terhadap Setya Novanto lebih baik diberhentikan.
Menuai Reaksi Keras Masyarakat
Putusan hakim Cepi Iskandar ternyata tidak disambut baik oleh publik, masyarakat mulai mengecam dicabutnya gelar tersangka Setya Novanto. Beberapa waktu lalu, platform sosial media diwarnai tagar #ThePoweofSetNov yang menggambarkan betapa ajaibnya kekuatan sang Papa. Menilik kembali sepak terjangnya, kasus KTP elektronik bukan kali pertama Novanto terjerat dugaan korupsi.
Sederet kasus lain seperti skandal Bank Bali 1999, kasus beras impor 2005, korupsi PON Riau 2012, hingga kasus Papa Minta Saham pada November 2015, melibatkan nama Ketua DPR tersayang itu. Sayang sekali, deretan kasus itu tidak berujung pada putusan pidana. Bahkan, kasus Papa Minta Saham tidak berhasil mencopot Setya Novanto dari jabatan Ketua DPR, nama baiknya kembali dipulihkan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Publik pun semakin terkejut karena Novanto meninggalkan status pasien tiga hari setelah status tersangkanya dicabut. Sungguh kebetulan yang ajaib.
Mahasiswa pun geram dengan permainan ketua DPR, beberapa kali digelar aksi untuk mengusut tuntas kasus korupsi yang dilakukan Setya Novanto, salah satunya aksi 28 September 2017, 5 Oktober 2017 dan aksi #CydukSetnov 13 Oktober 2017. Selain itu, berbagai propaganda pun dilakukan di sosial media untuk menguak bukti-bukti mengapa gelar tersangka pantas dianugerahkan kembali kepada Ketua DPR itu.
KPK tidak tinggal diam, lembaga yang kini ruang geraknya dipantau oleh Pansus KPK berencana mengeluarkan surat penyidikan baru dan memperpanjang pencekalan Setya Novanto hingga April 2018. Seiring berjalannya waktu, KPK pun akan mempersiapkan bukti-bukti lain agar tidak lagi lengah di persidangan selanjutnya.