Lihat ke Halaman Asli

M Bayu Dwi Saputro

Seorang debt collector

Topi dan Perahu Kertas

Diperbarui: 7 Desember 2024   07:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lauriergracht

Aku menarik salah satu novel dari rak buku di kamarku. Sebuah novel yang telah mengubah dunia. Membebaskan para pribumi dari kejahatan kolonialisme. Buku ini sempat fenomenal pada zamannya. Bahkan, menjadi bacaan wajib bagi setiap pelajar tingkat menengah di Belanda hingga hari ini, diiringi dengan tugas untuk menganalisanya, seperti yang hendak kulakukan malam ini di depan mesin ketik ayahku.

Tapi aku merasa memiliki kewajiban untuk menuliskan pengalamanku, karena penulis buku ini telah memberiku pelajaran berharga delapan tahun yang lalu, dan akan aku ingat seumur hidup.

Mungkin catatan ini akan kuselipkan di antara lembar kerjaku nanti. Supaya orang lain juga bisa membacanya. Aku rasa, tidak akan jadi masalah jika Droogstoppel Junior juga membacanya. Toh, dia sudah menjadi teman karibku sekarang.

Namaku Liam Murphy. Aku tinggal di Lauriergracht, No. 41, kota Amsterdam. Waktu itu, seperti anak-anak pada umumnya, aku ingin cepat dewasa, tumbuh menjadi laki-laki pemberani seperti para bajak laut. Tidak ada yang berani menjahili para bajak laut, apalagi Si Droogstoppel junior.

Sabtu pagi. Hari itu adalah ulang tahunku yang keenam. Aku menunggu Ayah pulang dari gereja. Beberapa hari sebelumnya, dia berjanji memberiku hadiah ulang tahun. Kata Ibu, sebentar lagi Ayah pulang. Aku menunggu sambil membolak-balik halaman buku cerita bajak laut yang dibacakan Ibu semalam. Aku lihat lagi gambar-gambar kapal besar di tengah lautan.

Setelah melihat beberapa gambar, aku turun dari sofa dan berlari ke meja kerja Ayah, menaiki bangku, lalu mengambil selembar kertas kosong dari meja. Kulipat-lipat kertas itu, berusaha membuat perahu kertas seperti yang pernah diajarkan Ibu. Aku berusaha mengingat tahap demi tahap. Kalau tidak salah, setelah ini, begini, lalu begini. Kubongkar lagi lipatannya dan memulai dari tahap awal. Setelah beberapa kali mengulang, tetap gagal.

"Kau ingin kubuatkan perahu kertas?", tanya Ibu.

Aku mengangguk.

Ibu mengambil kertas itu dariku, "Wah, kau gigih sekali, Liam. Sampai-sampai kertasnya tidak bisa digunakan lagi. Tak apa. Ayah masih punya banyak kertas." Ibu mengambil selembar lagi dari meja kerja, lalu mulai melipat-lipat kertas. Aku memperhatikan setiap lipatan, berusaha mengingat tahap demi tahap, tapi tangan Ibu bergerak terlalu cepat. Aku menyerah.

Ibu terkekeh "Lain kali Ibu ajarkan lagi, ya. Ibu tidak punya banyak waktu. Harus segera menyiapkan makan siang."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline