"Sayang betul tidak bergabung, dulu padahal SMAN 97 memiliki ekstrakurikuler Teater Topeng."
Saya mempelajari teater saat kuliah di jurusan Pendidikan Sastra dan Bahasa Indonesia. Selain mempelajari linguistik; fonem, morfem, dan kawannya--hari-hari saya tidak luput dari pembahasan ragam karya sastra.
Harus diakui saya tertinggal, karena baru sempat membaca "Harimau! Harimau!" karya Mochtar Lubis, "Robohnya Surau Kami" karya AA Navis, dan "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari.
Saat itu, saya merasa bebal dan malu menjadi anak Sastra Indonesia yang tidak tau apa-apa. Bahkan, untuk menjelaskan bedanya karya sastra pujangga baru dan lama saja di depan dosen--seringkali remedial.
Untung, Tuhan membentuk manusia dengan keberanian. Kala itu, saya memulainya dengan bermain ke Salihara Pasar Minggu. Saya temukan helatari dan helateater.
Menyenangkan sekali, selain mengobrol dengan orang asing. Tempat tersebut menyajikan ruang kumpul karya sastra yang apik. Sejak itu, saya mulai memburu teater sebagai penikmat.
Bermula dari menonton Teater Kampus UNJ di Gedung Miss Tjitjih dan Petang Kreatif UI, karena tiket masuk yang terjangkau. Kemudian, saya mengenal Teater Koma yang membuat saya berdecak kagum. Didukung tempat yang proper di Taman Ismail Marzuki dan tentu saja sosok Nano Riantiarno.
Ternyata, seru juga melihat lakon dan mulai ketagihan. Bermodal gawai, saya seringkali mencari pertunjukan teater terbaru. TIM, GKJ, Ciputra Artpreneur adalah tempat nongkrong favorit saya. Dari situ saya mulai mengenal Titimangsa, Indonesia Kaya, dan Teater Musikal. Saking candunya, saya juga pernah melancong pulang pergi ke Yogyakarta untuk menonton Teater di Taman Budaya Yogyakarta dan bertemu teman baru: Hanin.