Lihat ke Halaman Asli

Peran Komunitas Pendidikan dalam Regenerasi Guru

Diperbarui: 16 Mei 2022   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam tulisan Doni Koesoema di Koran Kompas, 8 September 2020 berjudul: Mentransformasi Guru, dikatakan bahwa kebijakan sertifikasi guru yang memberikan tunjangan sebesar satu kali gaji membuat keinginan anak muda menjadi guru sangat tinggi. Akibatnya, lebih dari 1 juta mahasiswa, membludak menjadi "calon" guru.

Dilihat dari jumlah, tentu angka yang menggembirakan. Betapa banyaknya bibit guru yang akan hadir di masa depan. Sayang, pada tahun 2025, sekitar 185.000 guru SD, 60.000 guru SMP, 23.000 guru SMA, dan 12.000 guru SMK akan pensiun. Secara jumlah, kita akan mudah melakukan regenerasi---masih selamat kalau melihat angka lulusan mahasiswa calon guru.

Tapi, apakah regenerasinya sudah siap? Apalagi proses kurasi pendidik harus melalui sistem obyektif dan kompetitif jika ingin mendapat guru terbaik. Belum lagi nasib guru honorer, yang juga harus dipikirkan. Apakah harus "direlakan" atau "diperjuangkan?" Per April 2022, Implementasi Kurikulum Merdeka (IKM) dimulai dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 56/M/2022. Sebagai pemulihan pendidikan pasca covid-19, sekolah dapat mendaftar melalui jalur mandiri.

Awal mula kurikulum ini muncul, saya gembira sekali jika harus membandingkan kurikulum 2013. Meskipun, sulit menghilangkan rasa jatuh cinta pada kurikulum KTSP. Setelah membaca beberapa sumber, saya beranggapan kurikulum ini cukup imbang. Dalam artian, guru dan siswa diberikan kesempatan untuk berkembang dengan pola pikir dinamis nan fleksibel---mengikuti tantangan masa kini (re: abad 21). Dukungan profil pelajar pancasila juga menurut saya adalah perpaduan yang manis, ya sebuah kurikulum yang humanis lah.

Tapi, bagaimana eksekusinya? Saya pernah melakukan riset sederhana dengan sampel kecil dalam perjalanan menyusuri Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Ada yang berupa audiensi resmi, ada juga yang hanya bertamu untuk menemui beberapa guru. Pemantiknya sama: "Sekolah ini sudah pakai kurikulum merdeka belum ya pak/bu?", "Sudah pernah mendengar profil pelajar pancasila?"

Dari total 5 sekolah jenjang SD hingga SMA/K yang saya kunjungi, semua menjawab dengan nada kurang yakin---misalnya seperti ini: "Oh iya, tapi kepsek belum suruh mba", "Dikit dikit sih udah denger, tapi masih bingung", "Ya, dari dulu juga padahal kan udah merdeka ya. Orang bisa belajar di mana aja."

Temuan ini sungguh menarik. Terlalu galak jika terus menyalahkan pemerintah, sebab ini baru sampel kecil. Tapi, kasus ini perlu diperhatikan. 

Kurikulum yang bagus, akan berjalan jika ada sosialisasi dan praktik yang baik. Banyak sekali program bagus, namun minim eksekusi. Dalam hal ini, guru mutlak menjadi pemeran utama yang mana nantinya harus memiliki kemampuan mengolah pedagogi. Belum lagi, mereka juga harus paham pembelajaran berbasis proyek itu seperti apa.

Lalu, apakah komunitas pendidikan ada gunanya dalam hal ini? Menurut saya ada, namun butuh dukungan. Bicara komunitas---spesifik gerakan akar rumput basis relawan, agaknya tahun ini hampir hilang keseimbangan. Pada analisis komunitas yang saya ikuti, peralihan online, offline, dan hybrid ini membawa dampak perubahan perilaku.

Salah satunya, jumlah relawan yang berpartisipasi aktif menurun hingga 40%, simpulan mendata relawan lebih tertarik dengan program magang dan pengabdian dengan benefit sepadan seperti Kampus Merdeka dan sejenisnya. Program ini tentu bagus sekali, mahasiswa dipayungi resmi dan bisa menuangkan proses kreatifnya di berbagai ragam profesi dan bidang yang diminati---apalagi ada uang saku dan barter nilai mata kuliah.

Di sisi lain, hal ini tentu membuat komunitas pendidikan berat sebelah. Alih alih ingin membantu pendidikan Indonesia, tapi ruang geraknya bisa terhambat karena terbatasnya SDM. Pilihannya cuma dua: putus asa dan berhenti, atau tetap percaya diri. Solusinya juga cuma dua: terus inovasi, atau berdoa ada sebuah program resmi dan terintegrasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline