Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan di Masa Pandemi? Tipis! Tapi Masih Ada Harapan

Diperbarui: 11 Juni 2020   19:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Hari ini saya bergegas ke daerah Tenjo, Bogor, Jawa Barat. Sejak bulan lalu, saya terpaksa keluar rumah untuk alasan pekerjaan. Memasuki Bulan Juni, jumlahnya makin sering. Bisa 3 sampai 5 kali dalam seminggu, saya keluar rumah. Bukan karena tempat kerja saya tidak mengindahkan bekerja dari rumah yang disarankan pemerintah. Namun, pekerjaan kami memang harus bersentuhan dengan pandemi---meskipun bukan tenaga medis.

Sebagai contoh, kami harus melakukan sosialisasi protokol kesehatan terus menerus kepada anak-anak di berbagai daerah untuk mempersiapkan "new normal" yang semakin keras digaungkan meskipun jumlah pasien positif sudah menembus angka 1000 per hari. 

Sesekali, kami juga melakukan pembagian donasi paket sembako dan alat kesehatan kepada warga yang membutuhkan di beberapa lokasi. Kami sudah melakukannya di Bantar Gebang, Duri Kosambi, Mauk Tangerang, dan Pandeglang Banten.

Sebagai lembaga yang fokus terhadap pendidikan dan literasi anak, kami juga harus melakukan update nasib pembelajaran mereka yang dialihkan menjadi belajar dari rumah, sementara belajar di sekolah dihentikan. Seperti yang saya lakukan hari ini.

Saya mewawancarai 5 anak, dan jawabannya sangat beragam. Ada yang menganggap belajar di rumah sama dengan libur sekolah. Ada juga yang menganggap belajar di rumah membuatnya bosan, karena tidak bisa bertanya kepada guru jika ada materi yang tidak dipahami karena tidak punya telepon pintar. Ada juga yang menganggap belajar di rumah menyenangkan, sebab ia dapat bermain sepeda lebih sering dari biasanya.

Saya senang sekaligus sedih. Senang, karena bisa mendengar cerita mereka. Ketika mereka merasa hebat mengayuh sepeda sangat cepat dan berusaha untuk mengalahkan kecepatan commuter line. Atau keluhan sesak dan pengap ketika mereka harus memakai masker setiap keluar rumah.

Tapi, saya juga sedih karena terus memikirkan "apa yang bisa saya perbuat?" Mengapa pendidikan menyedihkan seperti ini? Masih ada lanjutan 6 bulan lagi, sampai sekolah beroperasi kembali! Bagaimana bisa hal ini terjadi bersamaan? Meluruskan literasi tidak hanya sekadar baca---tulis saja, sudah membuat saya menjadi orang yang sok tahu sedunia.

Memang, pemerataan pendidikan rasanya kurang ideal untuk diaminkan. Untuk apa menjadi pintar, jika tidak bisa menyelesaikan masalah hidup sendiri? Rasanya mengagumi sosok Butet Manurung adalah pilihan yang tepat, terlebih dalam dialognya kemarin. "Memang kenapa anak kelas 5 SD belum lancar membaca? Sedangkan dia sudah bisa melaut?"

Kepada siapa lagi kami harus menyampaikan pesan? Anak Indonesia benar-benar butuh bantuan. Tipis memang, tapi setidaknya masih ada harapan. Ketika mereka berkata, "Kak aku sudah pakai masker, supaya virusnya takut."

Setidaknya, mereka masih memedulikan kesehatan dari sebuah kalimat perintah.

Renita Yulistiana
Tenjo, 11 Juni 2020

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline