Kewajiban perempuan adalah mampu melakukan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci dan memasak. Lazimnya, ungkapan tersebut masih sering kita temui di Indonesia. Perempuan di Indonesia akan dianggap buruk ketika tidak memiliki kemampuan itu. Apakah hal ini bisa di anggap benar? Jika tidak, mengapa masih melekat kuat di kehidupan penghuni bumi ini, khususnya Indonesia? Lantas bagaimana dengan kondisi laki laki yang selalu menjadi pemegang kekuasaan? Apakah Indonesia masih memangku budaya Patriarki?
Budaya Patriarki, masih adakah?
Patriarki berasal dari kata patriarkat, yang artinya sebuah struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem ini mendominasi kebudayaan masyarakat sehingga menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang membawa pengaruh hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan sampai institusi pernikahan. Hal ini menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Limitasi peran perempuan oleh budaya patriarki ini menjadikan perempuan terbelenggu dan cenderung mendapatkan perlakuan diskriminasi. Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini, ditengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak perempuan. Sehingga memunculkan dampak yang serius dari budaya patriarki di Indonesia masuk ke dalam system blame approach, yaitu permasalahan yang diakibatkan oleh sistem yang berjalan tidak sesuai dengan keinginan atau harapan.
Budaya Patriarki, si pembawa bencana sosial?
Mungkinkah patriarki benar-benar menjadi sumber masalah Indonesia? Ya. Memang benar bahwa patriarki dapat membiakkan segala macam bencana sosial yang ada. Patriarki terbentuk karena budaya patriarki dapat menciptakan struktur sosial dimana perempuan dianggap pihak yang paling lemah dan dapat dirugikan baik secara fisik maupun mental. Dalam hubungan dengan laki-laki, signifikansi sosial dari perbedaan biologis ini menyebabkan munculnya mitos, stereotip, aturan, dan praktik yang merendahkan perempuan, sehingga membuat kekerasan terhadap perempuan lebih mungkin terjadi. Kekerasan yang terjadi meliputi kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan seksual.
Indonesia masih merupakan citra budaya negara patriarki, dan situasi perempuan korban kekerasan sangat buruk. Kekerasan yang dilakukan oleh pelaku (laki-laki) seringkali dipersalahkan (atau sebagian dipersalahkan) pada perempuan korban kekerasan. Juga, patriarki memiliki pengaruh bahwa laki-laki adalah pihak yang paling maskulin dan sering memiliki hak untuk melakukan apa saja terhadap perempuan. Akibatnya, masyarakat akan mengizinkan laki-laki bersiul atau biasa disebut cat calling kepada perempuan. Cat calling memiliki arti bersiul, memanggil dan mengomentari sifat seksual wanita dari pria ke wanita yang melewatinya. Kejadian seperti ini akan dianggap normal dan wajar karena dilakukan oleh kaum pria. Laki-laki diposisikan sebagai penggoda, sedangkan perempuan adalah objek atau makhluk yang layak untuk dirayu, dan tubuh perempuan dijadikan sebagai penyebab kekerasan itu sendiri.
Lagi lagi pihak perempuan menjadi korban. Di lain perkara, perempuan kerap menjadi victimblaming. Kondisi dimana seorang pihak korban yang justru menjadi objek kekerasan dan sasaran dari sebuah kejadian. Contoh yang dapat kita lihat adalah, didalam kasus kekerasan seksual, perempuan justru menjadi pihak yang disalahkan. Entah itu karena cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku. Justifikasi tersebut menjadi hal yang normal untuk laki-laki melakukan pelecehan seksual karena sejatinya mereka memiliki tingkat libido atau syahwat yang tinggi. Namun, letak permasalahannya justru terdapat di perempuan yang dianggap tidak bisa menjaga diri menurut moralitas masyarakat, sehingga perempuan diberi label yang jelek oleh lingkungan sosial mereka. Padahal jika kita kilas balik, sebenarnya ini bukanlah kesalahan murni dari perempuan yang malah dijadikan korban. Terdapat banyak sekali pengaruh patriarki yang membawa dampak buruk bagi perempuan Indonesia. Patriarki masih sangat melekat di dalam pola pikir manusia. Hal ini membawa banyak kesenjangan yang ada didalam hak laki-laki dan perempuan. Sehingga, patriarki mampu melahirkan stigma tentang double standard dan toxic masculinity.
Double standard dan toxic masculinity, lahir dari Budaya Patriarki.
Pada hakikatnya, manusia terlahir ke dunia memiliki sebuah hak asasi yang sama dan setara. Namun, perilaku menyimpang manusia membuat batasan dan peraturan tentang apa yang dianggap baik dan buruk tanpa sebab, yang dapat dinilai secara rasional. Double standard muncul akibat masih melekatnya budaya patriarki di Indonesia. Apa arti sebenarnya? Double standard alias standar ganda adalah ukuran moral dengan membuat penilaian terhadap subjek yang berbeda. Sebuah hal yang dianggap wajar oleh perempuan itu dianggap tidak lazim bagi laki-laki. Contohnya, seperti menangis. Perempuan dianggap wajar jika ia menangis, tetapi beda halnya dengan laki-laki. Laki-laki akan dianggap lemah jika ia menangis. Contoh lainnya adalah, perempuan dianggap nakal apabila pulang larut malam, sedangkan laki laki diwajarkan. Perempuan dianggap jorok apabila tidak menjaga kebersihan kamarnya, sedangkan laki laki dianggap wajar. Perempuan akan mendapati label pemalas apabila ia bangun siang sedangkan laki laki diwajarkan dengan omongan sepele, namanya juga laki-laki. Hal ini justru tidak bisa terus menerus menjadi pola pikir masyarakat Indonesia.
Hal yang menjadi pendorong utama dari keberadaan mindset double standard ini adalah konstruksi sosial dari masyarakat yang dibuat oleh sekelompok individu dengan menciptakan realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kemauannya. Sekelompok manusia dilihat menjadi pencipta realitas sosial. Dengan diterapkan mindset seperti ini, maka akan ada pihak yang dirugikan. Padahal sejatinya, perempuan berhak mendapatkan apa yang didapatkan oleh laki laki.
Budaya patriarki jelas menjadi faktor pendorong terjadinya double standard, karena budaya tersebut memberikan keistimewaan tanpa alasan yang rasional kepada gender laki-laki, yang pada kenyataannya tidak terdapat perbedaan signifikan yang dikelompokan berdasarkan gender,selain perbedaan fisik. Selain itu, akibat adanya mindset double standard, maka munculah stereotip toxic masculinity.