Lihat ke Halaman Asli

Nino

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu Rahmadino biasa di panggil Nino, masih termangu di meja makan. Hampir seminggu ia bermalam di rumah Indri, kakaknya.
Ini pagi sama dengan lima hari yang lalu. Setiap pagi penghuni rumah simpang siur, bergantian selalu berucap ‘nino' menyebut namanya tanpa meminta responnya.
Burhan, kakak iparnya akan menyalakan sebatang rokok lalu menuju toilet sambil berkata,
"Bunda, jangan di bereskan dulu korannya, ayah mau Nino dulu".
Atau si Par yang minta pampers juga mengatakan hal yang sama,
"Bu, si dede ‘nino', pampersnya habis," lalu Indri kakaknya menyerahkan satu pampers pada Par, pengasuh bayinya.
Kali ini keponakannya, berteriak menggedor kamar mandi yang sedang di gunakan adiknya,
"Beib...cepetlah, sudah ƍäª tahan nih mau ‘nino'!!," teriaknya kepada yang di dalam.
Jengah akhirnya di tanyakan juga kepada Indri, kenapa selalu namanya di sebut tanpa memperdulikannya.
"Tak usah cemas No..., dulu kami sering membawa anak-anak ketempat umum. Bila ingin buang air besar, kurang enak di dengar bila menyebut e'e, beol, pub, bab...karena bahasanya sudah umum. Sangat tidak layak di ucapkan bila kami sedang makan di ‘food court'. Akhirnya Burhan, kakak iparmu mengusulkan dan membiasakan bila ingin kebelakang kami sepakat memakai bahasa "NINO" yang bermula dari...i'i, indok, o'o, endok, onin, akhirnya terakhir familiar dengan "nino", kenapa?," Indri menjelaskan dan bertanya tanpa beban.
"Kenapa harus menggunakan namaku? Mana suamimu Burhan?!!," geram Nino bangkit mencari Burhan...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline